Gue sempat mikir bikin keributan aja di Tan Son Nhat International Airport, seperti : nglempar mercon ke petugas bandara yang terkesan tidak ramah, dingin, dan angkuh. Dengan harapan keributan tersebut bakal terdengar oleh pihak KBRI di Ho Chi Minh City yang kemudian menjemput gue dan Basir (tentunya) untuk diinterogasi. Karena sudah malam, ujung-ujungnya, gue dan Basir disuruh nginep dulu di KBRI untuk penyidikan lebih lanjut besok paginya. Lumayan bisa tidur di kasur empuk. Nah, pada saat sebelum tidur tersebut gue bakal bernegosiasi sama petugas KBRI agar penyidikan diundur satu hari karena mau mengikuti seminar apa gitu (tentang Transportasi Massal, misalnya) di salah satu Universitas di Ho Chi Minh City. Ketika petugas tersebut meminta bukti semacam undangan, gue bakal pura-pura lupa ngeprint dan sekedar nunjukin/memperlihatkan Kartu Tanda Mahasiswa buat meyakinkan kalau gue emang mahasiswa. Ya, sekali lagi, gue masih mahasiswa. Inget yak, gue mahasiswa. M-A-H-A-S-I-S-W-A. Gue merasa status mahasiswa itu keren. Setidaknya status mahasiswa masih memberi ruang nyaman buat gue untuk tidak mempunyai tanggung jawab yang lebih dulu. Petugas KBRI percaya dan mengiyakan. Besok paginya kesempatan tersebut akan kami gunakan untuk keliling kota Ho Chi Minh City hingga larut malam sambil kucing-kucingan sama petugas KBRI yang bekerja sama dengan Dinas Intelijen Vietnam untuk mengintai aktivitas kami. Lalu lewat salah satu travel agen terpercaya memesan tiket Sleeping Bus menuju Phnom Penh – Cambodia. Melarikan diri! Niat bodoh ala film-film spionase itu akhirnya urung juga setelah gue menemukan pintu masuk gratis di lantai dua bandara. Kenapa gratis? Setelah gue amat-amatin dengan seksama ternyata yang gak bawa tiket pun (pengantar, misalnya atau sopir taksi/ojek yang mencari penumpang/menawarkan jasa) bisa keluar masuk seenak jidat. Waktu menunjukkan pukul 23.45 WHCMC (Waktu Ho Chi Minh City = Waktu Indonesia Bagian Barat). Gue turun ke bawah memanggil Basir. Kami masuk dengan serileks mungkin. Berusaha tidak menunjukkan kecanggungan/kegrogian agar tidak terlihat seperti orang yang baru main ke Ho Chi Minh City. Karena biar bagaimanapun kami belum tahu betul adatnya. Dari sudut mata, gue lihat seorang petugas agak curiga dan mengikuti dari belakang. Gue langsung berakting pura-pura mencocokkan jadwal di layar plasma. Dan seolah seperti penumpang yang terburu-buru takut ketinggalan pesawat, kami langsung masuk ke antrian chek in bandara. Petugas tersebut berbalik arah tak jadi mengejar. Di tengah antrian gue melihat ke sekeliling. Di bangku tunggu yang berjajar di belakang ternyata sudah banyak bule-bule gembel bau keringat busuk yang nge-take-in tempat buat tidur. Asem! Dan sebelum kehabisan tempat, pelan-pelan kami melipir keluar dari antrian. Mengambil posisi di salah satu sudut. Biar lebih meyakinkan seperti sedang menunggu pesawat, gue berinisiatif ambil troli meski sejatinya gak dibutuhkan sama sekali. Sekedar buat naruh backpack. Properti buat akting. Sekali lagi, biar bagaimanapun, kami belum merasa benar-benar aman. Perlahan antrian pun mulai habis. Para penumpang menuju gate masing-masing menunggu boarding. Gue juga agak lega ketika melihat beberapa bule gembel tadi keluar masuk cari makanan dan minuman. Petugas yang ada di dalam pun hanya lalu lalang tanpa menghiraukan kami semua. Alhamdulillah kami jadi merasa aman. Lagi asik ngobrol sama Basir, seorang petugas konter chek in dari Cebu Pacific, cewek, menghampiri gue dan terjadilah conversation dalam bahasa inggris level rendah, seperti dibawah ini : Cewek Cebu Pacific: “Sorry, you want to go where?” Gue: “mmm, me and my friend waiting for the plane to Hanoi tomorrowMorning.” *ngebohong Cewek Cebu Pacific: “oh, I thought you wanted to go to the Philippines, because I had seen you queuing at the Cebu Pacificcounter.” Gue: “yeah,sorry, Iwaswrong.” Cewek Cebu Pacific: “It’s oke, no problem.” Setelah mempersilahkan gue dan Basir untuk melanjutkan istirahat, dia pun berlalu sambil meninggalkan senyuman khas wanita Asia. Baru beberapa langkah dia berhenti dan memanggil gue lagi : Cewek Cebu Pacific: “Hey! do you Philippines?” Gue: “No, i am an Indonesian, what’s wrong?” Cewek Cebu Pacific: “No, justrememberedsomeone frommy past.” Gue: *tersenyum sambil memberikan tanda/simbol peace menggunakan jari* Cewek Cebu Pacific: *balik arah dan semakin jauh meninggalkan gue* Suasana di dalam bandara sudah mulai terasa sunyi. Bule-bule gembel udah pada tidur. Begitupun adanya Basir. Gue menyandarkan badan di kursi. Mencoba rileks agar bisa mengantuk dan –berharap- akhirnya tertidur. Tapi susah. Saat memperhatikan detil di sekeliling. Mata gue berhenti pada sepasang kekasih yang sedang bercumbu mesra tepat beberapa meter saja di samping tempat gue duduk. Tak jauh dari situ seorang petugas bandara cuek aja ngobrol dengan seseorang di telepon. Petugas kebersihan juga seperti gak peduli dengan aksi sepasang kekasih tersebut. Sepertinya memang sudah biasa. Dan gue pun juga berusaha untuk membiasakan diri. Gue menghela nafas lalu menghempaskannya. Hufffss! Seandainya saja yang bersama gue saat itu Angelina Jolie. To Be Continued.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H