Ramai nian diskusi kali ini dan perlu di cermati karena dalam situasi dan kondisi pemerintahan transisi saat ini biasanya dan boleh dikatakan bahwa setiap pakar yang berhubungan dengan hal yamg menyangkut kebutuhan dan permasalahan di negeri ini biasanya mencurahkan hampir seluruh kemampuan pengetahuan berikut hasil penelitiannya terpampang dan nyangkut di berbagai media walaupun dalam ruang dan waktu yang terbatas. Diskusi atau boleh dikatakan sebagai debat aktif berkisar kepada permasalahan hajat hidup orang banyak ramai di bicarakan untuk menghasilkan solusi, khususnya mengenai tata kelola migas agar lebih baik lagi di masa yang akan datang terutama yang perlu dilakukan oleh pemerintahan yang baru.
Metro TV sebagai penggagas diskusi yang di ikuti oleh para pakar ekonomi dan pakar migas tentang tata kelola migas yang baru beberapa menit saja berlalu, ternyata banyak di kemukakan hal yang mencengangkan tentang sikap pejabat pemerintah (eksekutif dan legislatif) dan “yang berkepentingan dengan bisnis ekonomis migas” yang semakin menambah ruwetnya tata kelola migas itu sendiri.
Apakah sedemikian ruwetnya yang santer di sebut-sebut sebagai mafia migas itu? Ah belum terjawab karena susah untuk di buktikan dan nyatanya kisruh masalah BBM tetap saja bergulir dari pendapat yang pro dan kontra.
Sedangkan di stasiun TV One justru ramai di bicarakan tentang menyikapi perlu tidaknya kenaikan BBM, walaupun belum sampai kepada solusi yang mencerahkan, diskusi justru di ikuti oleh penggiat politik bukan yang akhli dibidangnya.
Dari debat atau diskusi yang tadi sempat saya saksikan banyak hal yang menarik tetapi hanya sebagian saja yang dapat saya tangkap, karena itung-itungan harga, volume dan segala macam yang mencakup isi, kondisi sumur tua, distribusi dan sebagainya apalagi yang menyangkut aspek teknis dan ekonomis masih remang-remang saja kalau tidak dikatakan gelap sama sekali , masalahnya justru hanya sedikit yang dapat saya cerna ( karena aspek nalar dan usia) belum sampai untuk memahami apa yang dikemukakan oleh para nara sumber apalagi dalam waktu yang terbatas hanya dalam beberapa menit saja, walaupun demikian setidaknya ada yang nyangkut juga dan dalam hal ini saya perlu mengucapkan salut kepada para nara sumber andaikata semua teorinya memang dapat diterapkan dan berkontribusi nyata terhadap permasalahan yang ada selama ini. Namun demikian, menurut hemat saya ada wacana yang menarik terutama tentang pengalihan sumber BBM yang berasal dari fosil ke Bahan Bakar Alternatif yaitu; Bahan Bakar Nabati (biofuel) seperti : bio ethanol dan bio diesel/ bio solar....Maka pikiran saya justru melanglang buana kemasa lalu dan masa yang kita pijak sekarang ini, selain teknologinya belum di kuasai karena setiap penelitian yang katanya berhasil, justru tidak dapat untuk mensuplai sebagian kecil saja dari kebutuhan BBM, belum lagi meyangkut bahan baku dan harga, tetapi sebagai bagian dari masyarakat Indonesia tidak ada salahnya untuk optimis akan kemampuan SDM bangsa ini. Yang paling menonjol justru sempat mengganjal dalam pikiran saya, pertanyaannya cukup mendasar saja : Selama ini, kapan kita sudah sampai kepada swasembada pangan secara murni? yang nota bene jika kita rinci, bahan baku bio ethanol dan bio solar justru bersaing dengan sebagian besar kebutuhan perut rakyat Indonesia sendiri, seperti untuk bahan dasar Bio ethanol dibutuhkan bahan baku dari: tebu, jagung, ketela pohon, ketela rambat dan sagu, untuk urusan tebu saja sebagai bahan baku gula dan jagung yang masih digunakan sebagai bahan makanan pokok substitusi oleh masyarakat indonesia bagian timur malah kita perlu pengetatan import, artinya produksi petani harus dilindungi dari pengaruh ekonomi global dan hasil produksinya memungkinkan perlu untuk berani bersaing dengan kebutuhan perut sebagian rakyat indonesia, belum lagi jika menyangkut hal yang umum terjadi di pasar bahan baku, biasanya jika kebutuhan semakin meningkat maka akan diimbangi dengan kenaikan harga yang membumbung tinggi, sebuah konsekwensi dari hukum ekonomi. Nah bisakah tanpa ketergantungan kepada import?, apalagi menyangkut bahan baku bio diesel/ bio solar seperti ; sirsak, kelapa, kelapa sawit, kapuk, jarak pagar, kedelai, dll. Walaupun nyatanya seperti kelapa sawit banyak di tanam di perkebbunan di lahan RI ini namun sayang sekali justru sekali lagi sebagian besar masih dimiliki orang asing, apalagi menyangkut kedelai yang produksinya nyata-nyata masih tergantung kepada import, dengan demikian permaslahan roduksi biofuel selama bahan bakunya masih bergantung kepada negara lain, maka masih berkutat di permasalahan dasar seperti saat ini.
Dengan demikian keputusan untuk beralih ke bahan bakar alternatif memang perlu kajian yang menyeluruh tanpa menyepelekan sebuah peluang menuju era baru yang harus para akhli perjuangkan.
Wallohualam bisawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI