Idiologi bangsa
Kalau diminta untuk menganalisa paham apa yang menguasai negara kita akhir-akhir ini yang secara konsisten menggerogoti idiologi Pancasila yang lahir dan dibesarkan oleh para founding father kita. Secara sederhana, saya yang pakir ilmu tentang teory paham yang dominan dianut di beberapa negara di belahan di dunia ini seperti liberalisme, kapitalisme disatu sisi kemudian muncul istilah baru yang sebenernya tidak ada sangkut pautnya dengan paham yang dianut oleh sebagian bangsa-bangsa di dunia yaitu Konspirasi hehehe, kemudian mengkaji idiologi komunisme disisi lainnya. maka saya hanya bisa menjawab “duka teuing “ boro-boro dapat memberikan pemahaman, baca bukunya saja belum.
Tetapi secara sadar, mau-tidak mau atau suka tidak suka ideologi yang dicetuskan oleh pendiri bangsa kita memang secara konsisten dan sistematis telah dirasuki oleh paham lain yang sedang digenjot habis-habisan oleh pihak asing demi kepentingan tertentu, kemudian tanpa disadari melunturkan Idiologi kita yang sangat sesuai dengan karakter dan budaya bangsa tersebut. Hal ini akan terus berlangsung selama bangsa kita masih rapuh dan selalu bergantung kepada negara dan bangsa lain tanpa berusaha menjadi bangsa yang mandiri terutama dibidang ekonomi, sosial, politik, pertahanan dan keamanan. Wah mulai “ngacapruk”, ngaco bin lebay . Namun demikian secara sederhana pula saya mencoba untuk menganalisis sesuai dengan kemampuan saya yang seuprit ini tentang slogan yang akhir-akhir ini dikumandangkan oleh pimpinan tertinggi negara kita yaitu :“Kerja... Kerja dan Kerja”
Budaya Kerja
Kalau anda disarankan untuk Kerja, Kerja dan Kerja, terlebih dahulu yang akan dilakukan biasanya memeriksa, sedikitnya menanyakan maksud dan tujuannya kerja untuk apa dulu nih?, kompensasinya apa?. Pekerjaan itu banyak bro...jangankan untuk kepentingan pemerintah atau sedikitnya untuk masyarakat disekitar, di dalam rumah sendiri saja masih numpuk dan menuntut solusi bertahap untuk menyelesaikannya apalagi jika kondisi keuangan sedang tidak berkelebihan sehingga tidak memungkinkan untuk mempekerjakan seorang profesional pun. Tentu saja kurang sejalan dengan slogan tersebut di atas karena tuntutannya sangat jelas, slogan tersebut merupakan produk yang diucapkan oleh pimpinan tertinggi kita, selain ditujukan kepada jajaranya untuk kepentingan masyarakat banyak, negara dan bangsa bukan untuk kepentingan rezim dan mengabdi kepada tuntutan politik semata demikian juga berlaku kepada kita-kita ini yang tidak dudukdi pemerintahan.
Tetapi jangan salah tafsir bahwa budaya kerja sebagai masyarakat berbangsa dan bernegara tentu sangat penting dan wajib walau kadang kepikiran bahwa sebagian besar hasil kerja seluruh rakyat Indonesia justru tidak mengendap di dalam negeri untuk memutar roda ekonomi bangsa. Bayangkan saja kebanyakan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat indonesia kebanyakan diimport dari luar atau hanya sampai dirakit di Indonesia saja (kepemilikan korporasi asing) walaupun nyatanya produk tersebut harganya sangat tidak terjangkau jika dibandingkan dengan penghasilan rata-rata rakyat pekerja di indonesia, kebanyakan tokh masih ada jalan keluarnya, bisa dicicil dari hasil pinjaman sana-sini.
Kebetulan dimusim penghujan ini baru ketahuan bahwa genting rumah di beberapa bagian sudah rapuh, pecah atau bocor menuntut untuk diganti. Soal pengadaan genting mah mudah saja, naiknya yang susah, mending kalau ada orang di lingkungan terdekat yang dapat digunakan jasanya, kalau tidak. Namun demi perawatan dan kenyamanan rumah kita sendiri ya terpaksa harus naik lah ke para-para untuk menggantinya. Itu hanya pekerjaan yang termasuk ecek-ecek tetapi sangat penting dilakukan demi kenyamanan diri sendiri dan keluarga. Ini baru satu contoh saja belum lagi kalau melihat hal lainnya yang tidak perlu disebutkan disini karena memang setiap orang mempunyai masalahnya sendiri-sendiri dan tidak ada urusannya bahkan tidak penting-penting amat untuk orang lain.
Jalan TOL
Ketika merambah hutan atau ke perkebunan sekalipun sering di temui jalan setapak yang barangkali awalnya merupakan jejak-jejak kaki para perambah untuk kemudian jejak-jejak kaki yang sudah diketahui tujuannya tersebut semakin banyak dilalui orang yang mempunyai tujuan yang sama, jalan setapak tersebut menjadi semakin kentara, semakin licin. Mengikuti perkembangan jalan ini, karena semakin banyak orang dengan berbagai keperluan melintas di areal yang sama maka terciptalah jalan yang mulai dikeraskan untuk kepentingan yang lebih luas lagi dengan menggunakan teknologi seperti yang terlihat saat ini.
Memperhatikan jalan yang ada di Indonesia maka pikiran kita melayang ke jaman penjajahan dulu ketika seorang yang bernama Herman Willem Daendels melalui sistem kerja paksa membangun jalan raya dari Anyer di Banten sampai Panarukan di Jawa Timur yang panjangnya mencapai kurang lebih 1000 Km hanya dalam watku pembuatan sekitar 1 tahun saja yaitu pada tahun 1809 ( yang ternyata tidak tercapai) , melintasi beberapa kota penting di Jawa Barat, Jawa tengah dan Jawa Timur , Jalan ini terkenal dengan nama Jalan Raya Pos (De Groote Postweg). Pembangaunan jalan Raya Pos ini terbilang melalui pemaksaan dan tidak segan berakhir dengan kekerasan sampai pembunuhan pekerja, mandor bahkan terhadap Kepala daerah yang bertanggung jawab terhadap wilayahnya yang dilalui oleh pembangunan jalan tersebut apabila tidak mencapai target yang diinginkan.
Pada Tahun 1973 mulai dibangun jalan TOL di Indonesia, Jalan Tol Jagorawi yang menghubungkan Jakarta, Bogor sampai Ciawi sepanjang kurang lebih 60 km dengan biaya diambil dari dana APBN hasil pinjaman luar negeri. Pada tanggal 9 Maret 1978 diresmikan oleh Presiden Suharto sebagai cikal bakal pembangunan jalan Tol di Indonesia yang sampai dengan saat inipun setelah selama kurang lebih 37 tahun masih difungsikan sebagai jalan TOL walaupun secara hitung-hitungan kasar barangkali hutang dana pinjaman luar negeri yang digunakan untuk pembangunan Jalan Tol tersebut sudah lama lunas.
Orang Awam seperti saya sering bertanya dalam benak sendiri, logikanya bahwa demi kepentingan masyarakat banyak seharusnya Jalan yang digunakan dari dana pinjaman Luar Negeri tersebut jika sudah lunas atau sudah melewati Break Even Point (BEP) maka seyogyanya Jalan Tol tersebut seharusnya sudah lama dibebaskan dari jalan berbayar menjadi jalan nasional biasa saja sambil meneruskan pembangunan jalan Tol lainnya yang sangat diperlukan oleh masyarakat luas, tokh dana pembuatannya diambil dari APBN walaupun hasil pinjaman luar negeri dan dikelola oleh BUMN PT. Jasamarga.
Atau bisa saja jika Jalan Tol tersebut masih diterapkan maka kewajiban pemerintah untuk membangun inprastruktur jalan Nasional, regional maupun lokal barul ainnya mestinya lebih digalakan lagi demi untuk kesejahteraan rakyatnya. Maka kondisi jalam macet apalagi justru terjadi di jalan Tol sedikit banyak dapat teratasi.