Gedung DPR-RI
Senin malam minggu ini saya masuk dalam lingkaran pembahasan tentang kontroversi “dana aspirasi” oleh DPR. Semuanya berawal dari bapak Susilo Bambang Yudhoyono yang mengkomentari melalui akun Twitter dia tentang dana aspirasi. Saya agak telat sebenarnya. Selanjut setelah selesai kultwit, anggota fraksi Golkar DPR Muhammad Misbakhun membalas.
Apa yang saya dapat? Bahwa nama dana aspirasi sudah tidak sesuai dengan sebutan sekarang. Misbakhun selalu mengulangi dalam twitnya bahwa itu adalah Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP). Itu namanya UP2DP, bukan dana aspirasi. Ini harus digarisbahwahi dan tidak boleh disamakan maupun dengan niat baik untuk lebih “gampang” diketahui masyarakat umum.
Mengenai dana aspirasi DPR sendiri, hal ini dulu pernah mengalami polemik. Mengutip dari artikel di Kompas (Konspirasi Dana Aspirasi) bahwa dana aspirasi ini menghancurkan citra DPR. Dimana DPR yang awalnya berfunsi untuk pengawasan menjadi eksekutor juga. Polemik dana aspirasi ini entah akhirnya apa pada saat itu, saya juga lupa. Tepatnya tidak terlalu mengikuti.
Isu ini mencuat kembali, padahal tidak ada sangkut pautnya dengan “dana aspirasi”. DPR hanya meneruskan salah satu kewajibannya dalam UU MD3 yaitu di pasal 80 yang mengatakan bahwa anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program daerah pemilihan. Sehingga dibuatlah tim UP2DP. Tim ini nantinya yang akan menggodok segala hal tentang mekanisme UP2DP ini.
Apa yang dikhawatirkan oleh masyarakat? Tentu tentang anggpan anggota DPR tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan dana besar, yaitu 20 miliar yang diusulkan. Kembali ke twit-twit Misbakhun, bahwa tidak ada dana tunai sama sekali yang dipegang oleh anggota DPR. Semuanya diusulkan untuk masuk APBN dan ditindaklanjuti oleh pemda setempat. Dalam pandangan saya, ini seharusnya sudah “clear”. Tidak ada polemik lagi. Tetapi polemik terus berlanjut dengan penggunaan frasa “dana aspirasi” yang sangat sensitif di masa lalu oleh media-media.
Selanjutnya saya juga ingin menuangkan sikap setuju saya dengan berita yang saya baca tadi malam. Artikel tersebut adalah hasil wawancara dengan pakar hukum tata negara, Asep Warlan Yusuf, yang mengatakan bahwa seharusnya polemik UP2DP ini tidak harus terjadi. Kalau pun ingin terjadi, seharusnya dilakukan ketika pembahasan UU MD3. "Seperti SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang menolak dana ini, kan aneh. Partainya ikut membahas dan menyetujui, sekarang menolak. Ini kan sama seperti keputusan SBY mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU) Pilkada dulu," Masalah munculnya kekhawatiran dana ini akan di korupsi, bapak Asep hanya menanggapi dengan ringan saja. “Kalau anggota DPR memiliki niat baik, pasti akan digunakan untuk yang baik. Kalau dari dulu niatnya memang jahat, ya berarti memang dia sudah jahat. Lagia korupsi bisa dilakukan dengan cara apapun.”
"Lagipula kalau dikatakan dana Rp 20 miliar yang dialokasikan tanpa memegang uang tersebut secara langsung dan yang akan digunakan untuk rakyat rawan dikorupsi, bagaimana dengan Presdien Jokowi yang mengelola langsung APBN sebesar Rp 2.400 triliun? Kalau logika berpikir rawan korupsi yang dikembangkan, maka Jokowi adalah orang yang paling berpotensi untuk mengkorupsi uang negara karena dia yang melaksanakan pembangunan,"
Di akhir tulisan saya tetap bersikukuh bahwa penggunaan frasa “dana aspirasi” ini harus dikurangi sampai tidak dipakai sama sekali. Ini yang menjadi polemik. Toh, ini namanya Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan. Ini hanya usul, kalau usul tidak diterima. Yah, sudah.
Maaf kalau saya tidak terllihat memihak pada rakyat dengan tulisan ini. Padahala tulisan ini tidak ada tendensi sama sekali ke arah sana.
. . . . . . .