Masih teringat jelas di benak penulis bahwa sudah dua kali menempuh Ujian Nasional (UN). Sebagai lulusan SMA angkatan 2010 dan langsung masuk kuliah di salah satu Universitas ternama di Indonesia, UN bukan menjadi barang baru bagi penulis. Pertama kali mengikuti UN adalah ketika akhir SMP, nilai UN masih sangat tinggi, 28.20 dengan matematika mendapat nilai 100. Murni tanpa bocoran apa pun. Dilanjutkanlah jenjang selanjutnya ke SMA dan masuk jurusan Ilmu Sosial, di sini nilai UN berada di rata-rata 8.20 dari 6 mata pelajaran.
Setelah memasuki masa-masa perkuliahan pada tahun 2014, penulis banyak sekali mendengar isu miring tentang UN. Walaupun sebelum-sebelumnya suara-suara sumbang tentang UN sudah terdengar, tetapi tahun ini sepertinya sudah mencapai puncaknya. Isu-isu tersebtu seperti masih adanya bocoran soal yang di dalamnya ada kerja sama dari pihak sekolah dengan pengawas dan mafia soal UN, soal UN yang tarafnya sama dengan olimpiade sains dan korupsi dalam tender UN. Hal ini juga diperkuat dengan banyaknya public figur dan orang-orang terkenal membicarakan dan menentang sistem UN yang semakin menyusahkan.
Cukup membaca website ini http://tolakujiannasional.com dan akun twitter @ayotolakUN saja rupanya sudah menggambarkan kisah Ujian Nasional tahun ini. Lalu bagaimana tanggapan bapak menteri pendidikan kala itu?
"Ujian itu ibarat orang yang melompat galah, tentu tidak semua orang bisa, kalau bisa berarti sempurna atau nilainya 100, tapi kalau belum bisa tentu hal itu juga realistis."
"kalau seorang anak itu memiliki kemampuan sedang-sedang saja, maka dia masih mungkin mendapatkan nilai 80, karena itu hal terpenting dalam UN adalah kejujuran itu sendiri,"
"Kesulitan materi soal UN itu bisa jadi tantangan untuk siswa. Kami tidak ingin anak-anak menjadi manja,"
"Soal kami buat, ada yang sulit dan ada yang mudah. Jika ada yang kesulitan, itu menunjukan perlunya perbaikan sistem dan kurikulum agar lebih baik lagi,"
Kalian bisa menyimpulkan sendiri apa tanggapan bapak menteri tentang Ujian Nasional. Yang jelas, UN sudah semakin tidak disukai dan dianggap gagal. Lalu apa solusi untuk ini semua? Mengikuti sistem pendidikan luar negeri? Seperti Finlandia mungkin? Dimana murid-murid di sana tidak dibebani tugas dan ujian seperti UN. Apa itu sesuai dengan kultur pendidikan Indonesia?
Berbicara tentang solusi, kita harus ingat bahwa M. Nuh sekarang sudah digantikan oleh Anies Baswedan, rektor Paramadina dan penggagas Gerakan Indonesia Mengajar. Di bawah kepemerintahan Jokowi, Anies menjabat sebagai menteri pendidikan dasar dan menengah. Dialah nantinya yang akan mengatur kurikulum sekolah-sekolah ke depannya.
Kita masih ingat bahwa Anies pernah mengeluarkan pendapat untuk me-moratorium UN untuk sementara. Mengevaluasinya dengan detail dan dipertimbangkan untuk kelanjutannya. Lalu apa dia akan melakukan hal tersebut ketika menjabat nanti. Sedangkan pasti banyak kepentingan “orang-orang” M. Nuh yang masih menjabat. Di sisi lain, penolakan terhadap UN semakin besar dan besar harapan untuk meniadakan UN. Selanjutnya, kita hanya bisa berharap cemas dan mendukung pak Anies jika memang UN perlu untuk dihapuskan.
Pak Anies, jangan ragu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H