Beberapa hal di Indonesia bisa dianggap sebuah kewajaran jika dilakukan terus menerus. Meskipun suatu saat nanti akan dikritik atau tidak disukai orang, lambat laun kebiasaan tersebut akan menjadi “pembiaran”. Saya ambil contoh saja dengan membawa makanan dan minuman dari luar bioskop ke dalam bioskop. Tentu saja itu melanggar peraturan bioskop, tetapi karena dilakukan terus menerus dan diikuti banyak orang. Membawa makanan menjadi sebuah bentuk “pembiaran” oleh lingkungan sosial.
Sebenarnya saya tidak akan membahas perilaku kewajaran yang terjadi pada umumnya di Indonesia. Saya akan membahas sebuah partai Demokrat. Ada apa dengan partai ini? Partai yang diketuai oleh mantan Presiden Indonesia dalam waktu dekat akan melakukan Munas pemilihan Ketua Umum. Lalu timbul sebuah pertanyaan, siapa yang pantas menggantikan SBY menjadi ketum?
Dalam berita yang dikeluarkan CNN Indonesia, nama untuk kompetitor SBY adalah Sys NS, Mubarok dan Marzuki Alie (baca: Penantang SBY di Bursa Ketua Umum: Sys NS, Mubarok, Marzuki). Lantas apakah ketiga calon ini mampu menjadi lawan yang pantas untuk SBY? Jawabannya bisa saja. Semua bisa terjadi. Tapi apakah SBY rela partai Demokrat dipimpin orang selain dia? Bisa jadi iya, tapi oleh siapa? Sedangkan dukungan dari orang-orang Demokrat seperti menginginkan SBY memimpin lagi Demokrat. Seperti pernyataan Max Sopacua pada CNN, "Ketua umum kemungkinan besar Pak SBY lagi. Tapi kalau ada yang mau mencalonkan diri, sah-sah saja."
Pernyataan Max itu bisa jadi sebuah kebenaran. SBY kemungkinan besar akan menang dan menjadi ketum kembali. Ditambah dengan pernyataan bahwa DPD-DPD mendukung SBY kembali menjadi ketum Demokrat. Dalam wawancaranya dengan Republika, Ramadhan Pohan mengatakan, "Tidak ada DPD dan cabang yang menolak Pak SBY, di mata daerah beliau itu sempurna.” (baca: Mayoritas DPD Ingin SBY Jadi Ketua Umum ). Lucunya, dalam wawancara tersebut Ramadhan Pohan mengatakan kalau kompetensi SBY belum ada yang menandinginya dengan tolak ukur yang sangat kurang yaitu, "Lihat saja dua hari lalu di UIN, ribuan orang antusias mau bertemu dan menyalami beliau (SBY), magnetnya dahsyat."
Sayangnya, kembali SBY menjadi ketum lagi dan jika dia menjadi satu-satunya calon yang dijagokan daerah-daerah. Berdampak hilangnya kompetitor dia, orang-orang yang berpikir menjadi kompetitor akan mundur. Sederhananya, “percuma maju, kalo dia yang pasti bakal menang.” Hasilnya adalah SBY akan menjadi calon tunggal. Pemilihan pun tidak memakai voting lagi, tapi langsung aklamasi. Hal seperti ini akan mengurangi proses demokrasi di partai Demokrat. Berkurangnya ini adalah tidak ada pemilihan lain, selain aklamasi.
Lantas, apa ini yang diinginkan SBY? Dia menjadi calon tunggal dan melenggang mulus menjadi ketua umum lagi. Apa motif dia untuk menjadi ketua umum Demokrat lagi? Bukankah seperti kicauan dia di twitter, bahwa SBY menginginkan “menyepi” dari dunia politik. Spekulasi-spekulasi pun bermunculan seperti SBY yang masih ingin memiliki power di dunia politik. Ketika kondisi Demokrat yang tidak mengikuti koalisi mana pun, tentu memiliki daya tarik untuk koalisi-koalisi yang lain. Hal ini ingin dimanfaatkan SBY dengan menjadi ketum agar siapa pun yang mengusik dia, menyingkir dan tidak berani lagi. Tentu ketika SBY menjadi ketum, dia akan memiliki harga tawar yang sangat tinggi dan mungkin ini yang diincar SBY. Dia tidak ining kasus-kasus seperti Century dan Hambalang diusut oleh pemerintah sekarang.
Jika benar itu yang diinginkan SBY, apa yang kalian pikirkan? Semakin pesimiskah dengan dunia politik di Indonesia? Tapi hal-hal seperti ini tidak hanya terjadi di Demokrat. Partai-partai lain belum bisa lepas dari tokoh-tokoh politik saat ini. Kita sebut saja PDI dengan Megawati, PAN dengan Hatta Rajasa, Gerindra dengan Prabowo atau Hanura dengan Wiranto. Bertambah semakin pesimiskah kalian? Mari kita renungkan masing-masing.
Salam Demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H