Kekristenan merupakan agama yang didasarkan kepada iman dan kepercayaan di dalam Yesus Kristus. Alkitab mengajarkan bahwa setiap orang Kristen telah menerima pembenaran secara status sehingga memampukannya untuk hidup dalam standar hukum Allah. Sekalipun demikian, orang Kristen selama hidup di dalam dunia masih tetap bergumul dengan kedagingan hingga setiap hal yang terdapat dalam dunia yang telah terdistorsi kuasa dosa. Itulah sebabnya, dunia ini diibaratkan sebagai medan peperangan bagi orang Kristen. Oleh karena di dunia ini, setiap orang Kristen berperang melawan penguasa-penguasa si jahat, melawan kedagingan dan melawan dosa yang terus berusaha menjatuhkan orang Kristen.
Ketika Allah melalui Yesus Kristus menyelamatkan dan membenarkan orang Kristen sehingga disebut sebagai orang-orang kudus, maka maksud dari ungkapan dikuduskan di situ adalah disendirikan. Bukan berarti orang-orang Kristen direlokasi ke sebuah tempat yang terisolir dan terasing sehingga memungkinkan mereka hidup dalam kekudusan dan gangguan dari dunia luar. Tidaklah demikian kita memahami ungkapan dikuduskan. Ketika orang Kristen disebut dikuduskan, maka yang disendirikan adalah perbuatan dan tingkah laku mereka. Sehingga mereka tidak lagi berperilaku dengan orang-orang dunia pada umumnya, sebaliknya orang Kristen akan memperlihatkan tindakan dan perilaku yang berbeda bahkan bertolak belakang dengan yang dilakukan oleh orang dunia pada umumnya.
Pada buku The Radical Disciple, John Stott mengatakan bahwa orang Kristen memiliki tanggung jawab ganda di dalam dunia ini. Di satu sisi, orang Kristen hidup untuk melayani dan bersaksi di tengah-tengah dunia ini. Akan tetapi pada sisi yang lain orang Kristen juga menghindarkan diri supaya tidak terkontaminasi oleh dunia ini. Artinya, kita tidak menjaga kekudusan dengan melarikan diri dari dunia (eskapisme) atau pun mengorbankan kekudusan dengan menjadi serupa (konformisme) dengan dunia. Kedua-duanya tidak diperbolehkan bagi orang Kristen, sehingga hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi setiap orang Kristen.
Apa itu kekristenan autisme? Secara umum, kekristenan autisme adalah kekristenan yang tidak normal karena memiliki gangguan dalam hal perkembangan psikis dan mental. Secara medis, autisme terjadi karena kondisi perkembangan neurologis yang mempengaruhi cara seseorang untuk berinteraksi, berkomunikasi dan berperilaku. Biasanya anak penderita autisme biasanya akan kesulitan dalam berinteraksi sosial, pengulangan perilaku, ketertarikan yang intens pada topik tertentu, serta sensitivitas terhadap rangsangan sensorik. Â Penderita autisme memiliki tubuh fisik yang layaknya orang dewasa, namun sifat, cara berpikir, cara bicaranya dan perilakunya masih seperti anak kecil.
Paulus pernah mengingatkan jemaat Korintus tentang bahaya menjadi pengikut Kristus yang masih hidup duniawi (1Kor. 3:2-3). Bahkan Paulus menganalogikannya seperti seorang bayi yang belum bisa makan makanan keras. Mengapa? oleh karena mereka masih hidup dalam kedagingan, di mana ciri yang paling dominan yang mereka tunjukkan adalah mereka masih hidup dalam iri hati dan perselisihan. Jemaat Korintus sudah bertahun-tahun mengikut Kristus, akan tetapi kerohanian mereka masih seperti anak bayi dan tidak mengalami pertumbuhan. Layaknya anak-anak autisme yang secara fisik sudah dewasa namun masih berperilaku seperti anak kecil. Jadi intinya kekristenan yang autisme adalah kekristenan yang didasarkan pada perbuatan-perbuatan daging. Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa orang Kristen yang autisme adalah orang Kristen yang masih bertindak berdasarkan keinginan-keinginan daging.
Bagaimana memahami kekristenan autisme berdasarkan Galatia 5:19-21? Di dalam Galatia 5:19-21, Paulus dengan sangat gamblang mendeskripsikan tentang perbuatan-perbuatan dari kekristenan yang didasarkan pada kedagingan dan sebaliknya yang didasarkan pada Roh. Pada ayat-ayat tersebut Paulus menjelaskan tentang perbuatan-perbuatan daging seperti: perbuatan zina (porneia), kenajisan (akatharsia), sifat tidak bermoral (aselgeia), penyembahan berhala (eidololatria), sihir (farmakeia), pemusuhan (eksthra), perselisihan (eris), kecemburuan (zelos), kemarahan (thumos), persaingan (eritheia), pertikaian (diksostasia), faksi (airesis), iri (fthonos), kemabukan (methe), dan pesta pora (komos).
Paulus telah membuat daftar perbuatan-perbuatan yang mengidentikkan tentang perbuatan daging yang dapat berdampak kepada lahirnya kekristenan autisme. Perbuatan pertama yang dapat menimbulkan autisme dalam kekristenan adalah perbuatan zina yang dalam konteks ini dimaknai berdasarkan kata porneia. Berdasarkan kata ini, maka perbuatan zina yang dimaksud oleh Paulus adalah percabulan atau prostitusi yang dilakukan di luar nikah, yang melanggar hukum atau dilakukan secara tidak wajar (bdk. 1Kor. 5:1). Akan tetapi secara metaforis dapat diartikan sebagai kemurtadan dari Tuhan melalui penyembahan berhala dan ketidaksetiaan (bdk. Why. 19:2).
Perbuatan berikutnya yang dapat memberikan dampak lahirnya kekristenan autisme adalah kenajisan. Berdasarkan ungkapan akatharsia, maka kenajisan yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan moral, terutama yang berhubungan dengan dosa seksual (bdk. Rm. 1:24). Kemudian perbuatan sifat-sifat yang tidak bermoral berdasarkan ungkapan aselgeia dipahami sebagai hidup tanpa pengendalian moral, kebejatan yang merujuk kepada pemanjaan nafsu (bdk. 2Kor. 12:21), khususnya terkait dengan perilaku seksual yang tidak senonoh dan berlebihan seperti yang juga tergambar dalam Roma 13:13.
Selanjutnya perbuatan yang terkait dengan penyembahan berhala yang dimaknai dalam konteks kata eidololatria. Kata ini dipahami sebagai praktik penyembahan berhala (bdk. 1Kor. 10:14). Selanjutnya perbuatan yang terkait dengan sihir, yang dimaknai dalam konteks kata farmakeia. Berdasarkan ungkapan tersebut, maka sihir dalam konteks ini sebagai penggunaan obat-obatan apapun untuk efek magis dan menghasilkan ilmu sihir (bdk. Why. 9:21). Perbuatan berikutnya adalah permusuhan yang dimaknai dalam konteks ungkapan eksthra. Sehingga dapat dipahami bahwa permusuhan yang dimaksud Paulus di sini adalah permusuhan yang didasarkan pada kebencian, baik sebagai watak batin maupun pertentangan objektif (bdk. Rm. 8:7), atau juga mencakup perasaan dan tindakan bermusuhan, perselisihan serta perseteruan.
Perbuatan berikutnya yang dapat menciptakan kekristenan autisme adalah perselisihan (eris). Di mana dalam konteks ini yang dimaksud oleh Paulus adalah konflik yang terjadi akibat adanya persaingan serta perselisihan (bdk. 1Kor. 3:3). Bahkan ungkapan eris juga mencakup pertikaian yang digambarkan secara verbal, misalnya selalu mengatakan hal-hal buruk tentang orang lain atau tidak pernah berbicara atau berkata baik tentang orang lain. Perbuatan selanjutnya adalah tentang kecemburuan (zelos). Berdasarkan ungkapan zelos maka kecemburuan yang dimaksud oleh Paulus di sini adalah emosi manusia yang mengungkapkan antusiasme aktif, kasih sayang yang membara, semangat hingga yang terkait dengan kecemburuan (bdk. 2Kor.7:7). Atau bisa juga dipahami sebagai intensitas ketuhanan yang ekstrim atau kemarahan yang berapi-api (bdk. Ibr. 10:27). Selain itu, ungkapan ini juga dapat diartikan sebagai iri hati, dan arti inilah yang dimaksud oleh Paulus dalam perikop ini.