Perbuatan berikutnya yang identik dengan kedagingan dan dapat melahirkan kekristenan autisme adalah kemarahan (thumos). Dalam konteks ini, kemarahan yang dimaksud oleh Paulus adalah yang terkait dengan nafsu yang kuat dari amarah. Bahkan dapat diartikan sebagai kemarahan yang memuncak dan cenderung mudah untuk tersulut kamarahannya (bdk. 2Kor.12:20). Selanjutnya adalah terkait dengan persaingan yang didasarkan pada kata eritheia. Kata ini dapat dimaknai sebagai pelayan sewaan yang tendensinya adalah mementingkan diri sendiri, ambisi egois, kepentingan pribadi hingga persaingan (Flp. 2:3).
Kemudian tentang pertikaian yang dalam konteks ini Paulus memaknainya berdasarkan kata diksostasia. Kata ini berarti berdiri tegak secara terpisah yang diakibatkan adanya perpecahan, pertikaian atau juga perpecahan dalam sebuah komunitas. Kemudian terkait dengan faksi yang dikaitkan dengan kata airesis. Berdasarkan kata ini, yang dimaksudkan oleh Paulus di sini adalah  kelompok separatis yang bercirikan sebuah kesetiaan kepada aliran atau sekte tertentu (bdk. Kis. 5:17). Atau juga mencakup kelompok separatis yang mengklaim status dalam komunitas Kristen (bdk. 1Kor. 11:19). Selain itu, kata ini juga dapat dipahami sebagai keyakinan yang bertentangan dengan doktrin yang sudah mapan atau dapat dikategorikan sebagai bidat dan ajaran palsu (bdk. 2Ptr. 2:1).
Perbuatan selanjutnya adalah iri yang didasarkan Paulus pada kata fthonos. Sehingga dapat dipahami sebagai iri hati atas keberhasilan orang lain (bdk. Mat. 27:18). Kemudian yang terkait dengan kemabukan yang didasarkan Paulus pada kata methe, dan dapat dipahami dalam arti mabuk karena minuman beralkohol. Terakhir perbuatan yang terkait dengan pesta pora (komos). Dalam hal ini yang dimaksudkan oleh Paulus adalah tentang prosesi meriah untuk menghormati dewa anggur dan seringkali merujuk kepada pesta yang berlebihan.
Bagaimana implikasinya bagi kehidupan orang Kristen? Apabila memperhatikan dan menyimak uraian panjang lebar di atas tentang perbuatan-perbuatan daging yang dapat melahirkan kekristenan autisme, maka dapat diidentifikasikan bahwa perbuatan itu terkait dengan nafsu seksual, penguasaan diri, hingga integritas diri dari seorang pengikut Kristus yang dituntut untuk hidup dalam kekudusan. Namun ternyata tidak sedikit yang terkontaminasi dan terbawa arus dunia ini. Sehingga mereka tidak lagi hidup berdasarkan hukum dan aturan yang diberikan oleh Yesus, melainkan telah dipengaruhi oleh gaya hidup dunia yang identik dengan nafsu seksual dan keinginan daging yang jahat. Itulah sebabnya, perlu untuk memikirkan apa yang dikatakan oleh Stott bahwa kita sebagai orang Kristen supaya dapat hidup dalam iman yang radikal, maka harus selalu menjaga kekudusan dan harus selalu mempengaruhi dunia ini dengan kualitas hidup yang mencerminkan manusia surgawi bukan duniawi. Ketika ini dapat dipraktikkan maka pasti kita dapat meminimalisir kekristenan autisme yang saat ini banyak menggerogoti kehidupan spiritual warga jemaat. Selamat berjuang menjadi manusia yang selalu mencerminkan kemuliaan Allah dalam perkataan, perbuatan dan pikiran. AP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H