Sungguh ‘janggal’. Biasanya demonstran yangmeneriakkan: “Turunkan harga listrik”. Kali ini, pemerintah yang bersuara. Kehendakpemerintah untuk menurunkan biaya produksi tenaga listrik, terdengar jelasdalam ruang seminar di gedung MRPQ- DTE - FTUI, Kampus UI Depok; belum lamaberselang. Suara pemerintah terdengar dari pendapat Dirjen KetenagalistrikanKementerian ESDM RI: Ir. Jarman, MSc. Sudah barang tentu, penurunan biaya tidak boleh diiringi penurunan tingkat keandalan; atau tidak boleh diiringi olehpenurunan kemampuan produksi, yang bila terjadi, akan semakin banyak pemadaman listrik dialami konsumen. Inilah, kesan penting yang tertangkap dari paket deregulasi ketenagalistrikan yang diundangkan akhir Januari 2017.
Tulisan ini, mengemukakan buah-buah diskusi dalam seminar yang diselenggarakan oleh alumni Tenaga Listrik [d/h Arus Kuat] Departemen [d/h Jurusan] Teknik Elektro – FTUI; yang berserikat dalam suatu paguyuban bernama Kagatrik UI. Kagatrik UI menyelenggarakan seminar bekerja-sama dengan Ditjen Ketenagalistrikan ESDM RI, disponsori PT. Truba Jaya Engineering; serta didukung oleh Ilunek – Iluni FTUI dan Iluni UI. Diselenggarakan 23 Februari 2017, dihadiri oleh sekitar 130 orang dari berbagai kalangan: regulator ketenagalistrikan, akademisi dan praktisi ketenagalistrikan; baik anggota Kagatrik UI maupun bukan. Dari sekian banyak ‘buah’ seminar, tulisan menyoroti 2 hal saja, yaitu tentang biaya pokok produksi dan keandalan.
Biaya Pokok Produksi
Mengawali sosialisasi paket deregulasi ketenagalistrikan, Jarman menjelaskan tentang biaya pokok produksi / penyediaan [BPP]. Sebelumnya, harga jual listrik ditetapkan dengan rumusan BPP plus laba. Laba [margin] ditetapkan sebesar 7% BPP. Rumusan ini, mengandung kelemahan; karena produsen listrik menaikkan BPP untuk mendapat laba lebih besar. Sekarang, rumusan dirubah ! Laba adalah selisih antara: tariff keekonomian dengan BPP. Sehingga untuk mendapat laba yang lebih besar, diperoleh dengan menurunkan BPP. Dengan cara melakukan proses produksi yang lebih efisien.
Adapun rerata BPP Listrik Indonesia [BPK, 2015] adalah 1.236 [Rp/kWh]. Harga itu adalah akumulasi 4 komponen, yaitu: pembangkitan, penyaluran listrik ber-tegangan tinggi, menengah dan rendah. Komponen terbesar adalah BPP Pembangkitan, sebesar 998 [Rp/kWh]. Yang tidak merata di seluruh Indonesia. Terdapat beberapa daerah dimana BPP Pembangkitan lebih rendah dari 998 [Rp/kWh]: Jabar, DKI, Jatim, Bali, Lampung, Sumbar. Sisanya lebih tinggi. Tertinggi di NTT yang BPP Pembangkitan mencapai 2.080 [Rp/kWh]. Oleh pemerintah, angka-angka ini ingin diatur sampai ke tingkat yang wajar; dengan memotong inefisiensi. Untuk itu telah dan akan diluncurkan aturan-aturan ketenagalistrikan nasional. Tiga aturan yang diundangkan, diumumkan, dimasyarakatkan sejak akhir Januari 2017, adalah Peraturan Menteri Energi & Sumber Daya Mineral [PerMen ESDM] nomor 10, 11, dan 12.
PerMen ESDM 10
PerMen ESDM No. 10/2017, menata pokok-pokok dalam perjanjian jual beli tenaga listrik [PJBL]. Terurai dalam 14 ketentuan, yaitu: tentang jangka waktu PJBL, hak dan kewajiban penjual [produsen listrik swasta / independent power producer (IPP)] dan pembeli [PLN], alokasi resiko, jaminan pelaksanaan proyek, komisioning dan COD, pasokan bahan bakar, transaksi, pengendalian operasi sistem, penalti terhadap kinerja pembangkit, pengakhiran PJBL, pengalihan hak, persyaratan penyesuaian harga, penyelesaian perselisihan, dan keadaan kahar. Dalam pasal 15 ayat 1, jelas tertulis bahwa penetapan harga jual beli antara IPP dengan PLN, harus sepersetujuan Menteri [ESDM]. Ketentuan-ketentuan itu didasari pertimbangan utama untuk menaikkan keandalan sistem tenaga listrik nasional. Kata ‘keandalan’ cukup asing bagi masyarakat awam akan kelistrikan; tapi jelas sudah banyak kali dirasakan bila listrik hadir pada saat diperlukan. Saat kita menekan saklar, lalu lampu menyala; itu berarti keandalan yang baik. Sebaliknya, listrik ‘byar-pet’ itu tanda keandalan buruk.
Lalu apa hubungan keandalan dengan PJBL ? Jelas bahwa pembeli listrik [PLN] ingin membeli dari produsen listrik swasta/independen [Independent Power Producer/IPP]; sejumlah tenaga listrik yang andal. Pada saat dibutuhkan, listrik produksi IPP dapat dibeli dan selanjutnya disalurkan ke konsumen; dalam keadaan bermutu baik. Misalnya, dibutuhkan penambahan daya listrik 10.000 juta watt [10.000 MW atau 10 GW], untuk penuhi kebutuhan pertumbuhan konsumsi listrik Indonesia sampai tahun 2019; dan untuk itu sekelompok IPP telah sanggupi untuk adakan. Tetapi nyatanya, gagal suplai, tidak sesuai janji yang tertuang dalam PJBL; maka Indonesia akan alami kekurangan daya, akibatnya timbul gejala pemadaman listrik di mana-mana atau kondisi keandalan kelistrikan Indonesia turun. Bila demikian maka IPP oleh PLN, dapat dikenakan denda/pinalti liquidated damaged; akibat gagal suplai pada tanggal produksi perdana yang dijanjikan [Pasal 21,ayat 3].
Prof. Dr. Ir. Iwa Garniwa, MT., Ketua Electrical Power and Energy Studies UI, menyoroti klausul skema kerja sama: bangun [build], miliki [owned], operasikan [operated] dan alihkan [Transfer]. Skema itu positip untuk jangka panjang; karena setelah masa produksi sesuai PJBL, pembangkit tersebut diserahkan kepada PLN [pemerintah/negara]. Sehingga pada prinsipnya menguntungkan kemandirian dan penguasaan negara akan infrastruktur ketenagalistrikan yang vital bagi kemakmuran rakyat.
PerMen ESDM 11
PerMen ESDM No.11/2017 lahir didasari pertimbangan untuk peningkatan pemanfaatan dan kepastian suplai Gas Bumi untuk pembangkit tenaga listrik. Kepastian suplai gas bumi pada tingkat harga yang wajar; menentukan keandalan produksi listrik dan biaya pokok produksi. Belanja gas bumi untuk produksi listrik negara dalam APBN 2017, sangat dominan; karena menyita hampir separoh belanja bahan bakar pembangkit listrik thermal. PerMen ini mengatur pemanfaatan gas bumi untuk pembangkit tenaga listrik. Baik pembangkit listrik milik PLN maupun IPP. Ketentuan-ketentuan dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan gas bumi dengan harga wajar dan kompetitif; baik gas bumi yang dipindahkan melalui pipa, maupun melalui kapal LNG. Dan juga dorongan untuk mengembangkan pembangkit listrik di mulut sumur.