Sudah dua senja aku lewati. Bukan! Bukan! Beribu senja. Bahkan tanah yang kemarin basah telah kering kerontang oleh matahari yang menyengat. Andai angin juga dapat mengucap kata, ia akan meneriakkan kebosanan melewatiku.
.
Kulumat sendiri kerinduan yang mengakar. Aku menikmatinya di ujung senja dengan beberapa tetesan hujan yang menusuk. Tanpa kau. Bahkan tanpa secuil kenanganmu. Kenanganmu? Ah, bukannya aku telah membakar beberapa saraf benakku demi melupakanmu? Tapi gagal. Ya, gagal.
.
Lalu aku tapaki hamparan pasir putih masih beraroma senja. Setapak demi setapak telah terhapus hempasan ombak ganas. Lalu aku tapaki lagi, terhapus lagi, aku tapaki lagi, terhapus lagi. Begitulah seterusnya hingga aku mengenal siapa itu lelah. Tenyata lelah adalah mengejar kau, mengejar ketidakpastian.
.
Sudah jutaan aksara aku tuliskan di ujung senja. Berharap kau membacanya lalu memberi sapaan yang hangat. Atau setidaknya kau tersenyum atas semua yang kulakukan, tapi tidak. Bagiku, kebodohan adalah ketika aku melakukan hal yang sama dengan hasil yang sama. Ketika aku menuliskan aksara sajak yang sama namun kau pada pendirian yang sama.
.
Harus aku akui aku lelah mengejar ketidakpastian. Sementara kau menyebut bahwa aku menunggu ketidakpastian. Entah mana yang iya, karena pada keduanya memang tidak pasti. Dan itu kau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H