Mohon tunggu...
Adi Kurniawan Ritonga
Adi Kurniawan Ritonga Mohon Tunggu... Penulis - Digital Marketer

Menulis untuk perubahan dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Diary dari Kubur

15 Maret 2015   15:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:38 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika itu matahari tengah gagahnya membakar angkasa. Aku yang bermain suka cita harus pulang dari sekolah setelah jemputan sang duda isyaratkan sebuah petanda. Apa? Aku terlalu kecil untuk memahami sebuah isyarat makna. Seragam merah putih berbau tanah pun masih menempel di badanku. Maka aku pulang. Berkendara sepeda motor yang melaju penuh debar.

.

Aku dapati bendera putih di depan rumah. Ada dua. Satu sebelah kiri menunduk ke arah tanah, dan satunya lagi juga begitu, sama. Ingusku masih terlalu dini memahami apa yang terjadi. Masih dengan guratan tanah di pipi, aku turun dari sepeda motor tanpa beban. Melewati kerumunan kepala-kepala manusia berjubah.

.

Aku melihat mereka pipinya basah. Suaranya parau dan gelisah. Pandangan mereka ke satu arah. Ke arah seorang manusia terbungkus kain berwarna merah. Tangis mereka pecah, sebagian saudaraku bahkan tergeletak di tanah. Badannya lemah, kondisinya parah. Tapi bukan itu yang membuatku resah. Resahku adalah wanita yang terbungkus kain merah. Ya, dia ibuku yang gagah. Nyawanya tiada sudah. Badan dan arwahnya berpisah. Lalu suaraku membesar dan emosiku membuncah. Aku marah!! Tangisku pecah. Reaksiku tak terarah. Aku terkulai lemah.

.

Ternyata aku harus relakan ibuku pergi. Sama sekali aku belum paham apa itu kepergian dan sendiri. Aku masih bocah yang tetap bermain tanah dan api. Belum aku mengerti bahwa aku sudah sepi. Badan kurus dan kerdil harus pandai megurus diri.

.

Kini 15 tahun berlalu. Setidaknya masih ada satu orangtua tempatku bertumpu. Aku pandangi bendera putih yang lusuh dan berdebu. Sekarang aku tau, mengapa bendera ini terpajang beberapa tahun lalu. Sekarang aku paham, mengapa dahulu orang-orang berwajah sendu. Sekarang aku bisa mengerti mengapa saudaraku seperti bunga yang layu. Dan sekarang aku masih mengukir nama ibu walau di atas batu, pada nisan dibawah langit yang kelabu.

.

Semoga bunda, pada dunia yang aman dan tenang disana.
---------------
#AKR
Mengenang 15 tahun kemandirian

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun