Mohon tunggu...
Adi Zubed
Adi Zubed Mohon Tunggu... profesional -

kuliah dan kerja selalu setiap hari...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

KM 37 (Cikalong)

26 Mei 2010   04:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:58 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

***************KM 37 (Cikalong)***********

20/10/2009

Kopi…kopi…kopi….

Suara berat kakek itu terdengar jauh bersama hempasan angin yang malam itu benar-benar menujukan kekuasaanya di rest area Cikalong Km 37.

Waktu itu menunjukan jam 02.40 WIB, Entah sudah berapa jarak kilometer telah kami tempuh sehingga bozz aku memutuskan untuk beristirahat di mobil sejenak menghilangkan rasa kantuk. Karena tidak ingin mengganggu istirahatnya, aku pun keluar untuk relaksasi..

Ku hampiri dan ku dekati berharap tubuh ini tidak lagi menggigil. Akhirnya kudapati segelas kopi susu panas beserta makanan kecil.

Kondisi kala itu memang memaksaku untuk sejenak menengok ke belakang, mengenang masa-masa dimana diri ini selalu di nina-bobokan oleh kehangatan dan kelembutan tangan ibunda tercinta. Sering kali aku mencoba mengenangkan untuk ibunda tapi pena ini selalu terhenti apakah karena aku tiada mau berubah dan berbuat baik padanya. Setiap kali aku jatuh ingin sekali aku meraih tangannya dan mengebaskan baju ku. Tiada ada kata-kata yang menyakitkan terlontar dari mulutnya.Terlebih ketika ku dengar sya’ir “

hujan kau ingatkan aku pada satu rindu// dimasa yang lalu, saat mimpi masih indah bersamamu//

Terbayang satu wajah penuh cinta, penuh kasih// terbayang satu wajah penuh kehangatan//oh ibu….ibu….ibu…”

(opick feat Amanda)

Seketika butiran air hangat itu menutupi pandangku. Tak tertahan pancaran kehangatan kasih itu mengalir dari sudut mata sampai ke pipi, diteruskan ke seluruh wajah dan badan ini. Ada getaran yang maha sehingga tubuh ini menggigil begitu sangat.

Kondisi ini selalu mengingatkan ku ketika kaki-kaki ini tak kuasa menopang jiwa dan raga ku langkahkan, ketika aku sungguh-sungguh mencari arti cinta sebenarnya (cinta sejati, red).

Ah… kapan kiranya diri ini mampu memberikan pelangi, membawakan hujan, memanggil angina dengan siulan, memakaikan lencana dan meletakan tangan di kakinya sehingga ku lucuti pakaian yang telah begitu lama menutupi keindahan hati akan tanggung jawab yang suci tanpa sedikitpun aku tahu.

Tak sebanding dengan tenaga yang meraih dan merangkul tubuh saat aku menangis, seberapa jauh langkah ketika mengajak ku keliling-keliling dusun melihat indah perkebunan, mengenalkanku pada alam lepas.

Seberapa laksa ba’it kata terangkai sebuah do’a, pujian mengiringi tumbuh kembangku dan melindungi setiap gerak hidupku.

Keagungan inilah yang merasa diri ini picik, seperti bintang-bintang yang tak pernah mampu menutupi langit, secercah sinar yang menembus bilik-bilik ruangan, itulah aku….

Mencoba dan selalu berusaha mengalirkan air ke kuala. Luapannya menutupi karang dan menyatukan retakan tanah-tanah karena t’lah usang. Itulah diantaranya sekecil harapku…

Tak terasa sinar mentari itu beranjak, kulihat birunya langit pagi hari di Cikalong. Subhanallah maha indah kebesarannya.

Dinginnya malam itu bisa ku taklukan juga…

Begitu lama suara kakek si penjual kopi itu tak terdengar, apa karena aku menikmati kesendirian entah si kakek yang menutup diri enggan berbagi untuk menceritakan kisah lakon hidupnya. Tersentak ketika kudengar si kakek memanggil “Adi, adi bangun udah pagi, mau sekolah gak? Ku tengok datangnya suara, ku lihat nampak tangan kakek itu menepuk-nepuk tubuh yang di selimuti sarung.

Untuk keberapa kalinya pandangan ini tertutup butiran air dan kurasakan hangatnya air menetes ke pipi lagi. Aku bergumam “oh,, begitu mulianya hati anak itu…….”

Termenung kulewati masa seusia anak itu tanpa terpikir bagaimana dia berusaha membalas kehangatan kasih sayang dari dari orang yang dicintainya untuk selalu dekat menemani dan memberikan sebisa yang dia mampu.

YA ALLAH,, BERSYUKUR AKU BERADA DI LUAR MALAM ITU………….

Apa yang sudah kita lakukan untuk bunda, apakah bangga dan juga nestapa Sedangkan hanya orang sukses yang bisa membahagiakan yang dicintainya. Tapi kadang emosi itu labil dan aku tak tahu bagaimana membunuh ketakutan itu Apalagi sering aku berdiri didepan jurang Dengan melihat keindahan semu Sehingga aku kembali berharap terbang dan Hinggap di mahkota bunga Bunda dengan cara apa aku bisa membalas kebaikanmu dan menyeka keringat Juga cucuran airmata……..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun