Sore di hari Minggu (13 Januari 2019) kemarin hujan masih mengguyur Kota Bogor. Belum juga benar-benar reda sejak pagi. Sesekali berhenti, namun beberapa menit kemudian deras kembali, berhenti lagi, deras kembali. Saya pun absen dari undangan acara reuni dengan teman-teman masa kuliah yang diadakan di rumah salah satu teman yang kebetulan sedang mudik ke Bogor. Teman saya tersebut menikah dengan orang Afghanistan lalu diboyong suaminya hijrah ke Melbourne, Australia.  Di Whatsapp Group beberapa kali saya di mention, tapi saya sudah terlanjur mager. Hujan memang paling enak tiduran di kasur sambil dengerin lagu-lagu di laptop.
Sekitar pukul 17.00 WIB, saat hujan turun sudah tidak terlalu deras, saya keluar untuk mencari makan. Saya berlari-lari kecil sambil menghindari tetes rinai dari langit. Sempat agak bingung hendak makan apa karena sebenarnya tidak terlalu berselera. Hanya sudah tidak tahan dengan perut keroncongan yang jika dibiarkan bisa berakibat kena sakit maag atau asam lambung atau yang paling ekstrim eating disorders. Lebay!
Saya ingat, teman saya, seorang dosen di salah satu universitas swasta di Semarang pernah bilang bahwa jika beliau sedang kehilangan selera makan akan memilih masakan Padang. Saya pun mencoba mempraktekkan filosofi hidup yang diajarkan teman saya tersebut. Saya menuju kedai masakan Padang bernama Minang Sepakat. Berhubung telur dadar kesukaan saya sudah habis, lele goreng dan gulai tempe menjadi pilihan.
Ibu pemilik kedai Minang Sepakat ini memang cukup ramah. Beliau mengaku berasal dari Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Cukup familiar bagi saya, mengingat beberapa tahun lalu saya pernah mendapatkan proyek pekerjaan di bidang Geographic Information System (GIS) di daerah yang terkenal dengan Istano Basa Pagaruyung dan Nagari Tuo Pariangan-nya itu.Â
Nagari Tuo Pariangan merupakan sebuah perkampungan di lereng gunung Marapi yang sejuk dan tercatat oleh salah satu media pariwisata internasional paling berpengaruh, Travel Budget, sebagai salah satu desa terindah di dunia, bersanding dengan keindahan Desa Wengen dari Swiss, Desa Eze dari Prancis, Niagara on The Lake di Kanada, serta Desa Cesky Krumlov dari Republik Ceko. Nagari Tuo Pariangan merupakan warisan leluhur yang masih terjaga apik, asri, serta mempertahankan ciri dan identitas budaya Sumatera Barat.
Saya sendiri bukanlah pengikut setia serial yang ditayangkan di kanal RCTI itu. Saya tahu tentang Tukang Ojek Pengkolan justru dari Instagram saat sedang viral Mas Pur ditinggal nikah oleh pacarnya yang bernama Novita. Saking viralnya, kisah Mas Pur bahkan sampai melahirkan gerakan hastag #KamiBersamaMasPur.Â
Mas Pur adalah sosok bersahaja yang dikisahkan berasal dari Semarang, Jawa Tengah. Merantau ke Jakarta, tepatnya nyangkut di Kampung Rawa Bebek dan memilih profesi sebagai tukang ojek pengkolan. Di pangkalan ojek, Mas Pur memiliki dua sohib, yaitu Ojak yang asli Betawi dan Tisna yang asal Sunda. Mas Pur identik dengan ungkapan : "Salah gue?" dan "Salah keluarga gue?" dengan logat Jawa yang medhok.
Menurut saya pribadi, Tukang Ojek Pengkolan seharusnya sudah tamat sejak kisah Mas Pur dan Novita usai. Saya mencoba mengikuti episode-episode sebelumnya melalui youtube. Bisa dibilang, Novita adalah kisah asmara paling epic bagi Mas Pur dibandingkan yang lainnya. Dan, bahkan yang sesudahnya. Karena cerita yang terbangun seolah sebuah pengulangan-pengulangan konflik. Mas Pur selalu dinarasikan sebagai laki-laki tulus cenderung polos, jika tidak ingin dikatakan naif yang hanya dimanfaatkan atau di-PHP-in oleh perempuan-perempuan yang ditaksirnya.Â
Novita adalah sebuah pengecualian. Mas Pur dan Novita sudah sampai pada taraf jadian, pacaran. Hanya ending-nya, orang tua, lebih tepatnya, ibunya Novita tidak merestui Mas Pur. Novita dengan berat hati harus menikah dengan Mas Radit, laki-laki yang menjadi pilihan ibunya.
Ya, Tukang Ojek Pengkolan seharusnya sudah tamat disitu.