Setelah menjalani malam penuh drama, saya dan Basir melanjutkan perjalanan menuju Pham Ngu Lao Street menggunakan bis nomor 152 dengan trayek Tan Son Nhat International Airport -- Terminal Ben Thanh Market. Matahari mulai naik dan terasa terik. Waktu telah menunjukkan pukul 07.30 pagi. Suasana jalanan di Ho Chi Minh City penuh dengan hiruk pikuk kendaraan bermotor, khususnya roda dua. Lalu lintas tampak semrawut. Polanya sangat tidak teratur. Belakangan saya melihat kondisi tersebut mulai terjadi di kota tempat saya berdomisili, Bogor.
Kenek bis menarik uang tiket untuk saya dan Basir. Seharusnya harga tiket per orang adalah 4000 VND (Viet Nam Dong), saat itu (tahun 2012) senilai sama dengan Rp. 2000,-. Tapi, saya dan Basir harus membayar total jenderal 16000 VND (2 x 8000 VND) karena ransel saya dan Basir dianggap sebagai penumpang juga.Â
Seorang pemuda yang baru naik dari salah satu shelter bis langsung mengambil tempat duduk bersebelahan dengan saya dan Basir. Melihat saya dan Basir tampak seperti turis, pemuda tersebut menawarkan dirinya untuk menjadi guide. Saya dan Basir menolak halus. Pemuda tersebut masih terus melakukan determinasinya dengan menawarkan harga guide yang menurutnya sudah sangat murah dibanding lainnya. Saya dan Basir tetap bergeming. Merasa kalah dan putus asa, beberapa saat kemudian pemuda tersebut turun. Tapi, salutnya, pemuda tersebut masih berpamitan kepada saya dan Basir dengan cara yang sopan sekali.
Perjalanan dari Tan Son Nhat International Airport ke Terminal Ben Thanh Market memakan waktu kurang lebih 45 menit. Ben Thanh Market adalah pasar besar yang terletak di Distrik 1, Ho Chi Minh City. Ben Thanh Market adalah landmark atau ikon atau simbol penting bagi Ho Chi Minh. Pusat peradaban masyarakat Ho Chi Minh City. Ben Thanh Market telah menjadi saksi sejarah sebagian besar perubahan Ho Chi Minh City dari mulai invasi Prancis dan Amerika Serikat hingga perang saudara antara dua kubu ideologi besar, yakni Komunis dan South East Asia Treaty Organization (SEATO). Ben Thanh Market merupakan pusat perekonomian masyarakat setempat yang di dalamnya banyak menyediakan cinderamata seperti caping, tekstil, ao dai (pakaian khas perempuan Vietnam), dan beberapa masakan lokal yang otentik.
Dari Terminal Ben Thanh Market, saya dan Basir menyeberang melalui semacam bundaran menuju 23/9 Park, sebuah taman kota yang cukup rindang dan asri. Saya dan Basir memilih untuk istirahat sebentar sambil sarapan. Saya dan Basir membuka bekal ransum yang sengaja dibawa dari Indonesia, berupa roti tawar, keju Kraft, Silver Queen, dan susu Bear Brand. Saya dan Basir memilih duduk di salah satu bangku taman.
Belum sampai sarapan potongan pertama tertelan, dua orang pengemudi becak motor mendatangi saya dan Basir lalu menawarkan semacam one day tour ke beberapa tempat wisata paling banyak dikunjungi di Ho Chi Minh City. Becak Motor di Vietnam dikenal dengan sebutan Cyclo. Saya dan Basir sangat tidak antusias menyambut tawaran mereka. Disamping karena mereka datang disaat saya dan Basir sedang sarapan juga karena tempat wisata yang ditawarkan sangat tidak menarik. Berkisar antara museum dan lokasi-lokasi sejarah peninggalan Perang Vietnam, seperti -salah satunya- Cu Chi Tunnels yang menurut saya pribadi masih kalah cantik jika dibandingkan dengan Lobang Jepang di kota Bukittinggi, Sumatera Barat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H