Di usiaku yang hampir seperempat abad ini kadang aku berpikir aku bisa apa? Apalagi pada saat masa krisis seperti ini yang bisa aku lakukan hanya berdiam diri di rumah, hidup numpang orang tua, tak ada penghasilan apalagi menyandang gelar sarjana, tentu bertambah sedikit bebanya di keluargaku hamya aku yang bersekolah sampai perguruan tinggi itupun karena aku nekat, dan untuk membiayai kuliahku sendiri aku juga nyambi kerja sana sini supaya dapat uang untuk hidup dan biaya kuliah. Â Â
Di usia sepertiku ini banyak teman-temanku yang sudah punya penghasilan sendiri dan mampu memberi uang kepada orang tua, ada yang sudah punya usaha, punya banyak pengalaman kerja dan ketrampilan dan susah punya keluarga kecil.Â
Sedangkan aku, skil belum jelas, minim pengalaman kerja dan masih begini-begini saja. Apalagi saat setelah aku membaca buku yang berjudul "The perfect muslimah".Â
Buku tersebut merupakan salah satu buku best seller nasional. Bukan isi dari buku tersebut yang membuatku merenung begitu dalam akan tetapi seseorang yang menulis buku tersebut yang membuatku serasa tertampar secara keras dan menghasilkan rasa sakit yang tak berbekas.Â
Saat aku membaca sedikit biografi si penulis yang bernama Ahmad Rifai Rif'an betapa terkejut hatiku, rupa-rupanya si penulis waktu menyelesaikan buku best seller tersebut masih berusia sangat muda, yakni 24 tahun.Â
Di umur yang begitu muda dia bisa membuat karya yang sangat luar biasa, tak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri, tetapi juga bermanfaat untuk orang lain. Diusianya tersebut ia sudah mampu menulis banyak buku.
Rasa sedih dihatiku semakin datang saat menengok kondisi keluargaku saat ini. Keluargaku adalah termasuk keluarga miskin. Rumahku masih terbuat dari gedhek, dan ada banyak bocor dimana-mana. Saya memiliki 3 saudara kandung, kakak pertamaku bernama M.irfanta dan saat ini sedang berada di Jakarta.Â
Katanya sih dia bekerja di sebuah rumah makan seafood. Kenapa saya bilang katanya, karena saya sendiripun tidak tahu betul tempat kerjanya dan saat ini sepertinya masih libur karena ada wabah covid 19 dan belum tahu sampai kapan. Sedang kakak keduaku Hendro Wahono.Â
Dia satu-satunya anak dari orang tuaku yang sudah menikah, dia mendahului kakakku yang pertama dan saat ini bersama istrinya masih tetap tinggal di rumah orang tuaku.Â
Saat ini kakakku pun sedang tidak bekerja. Tetapi dia mempunyai 2 ekor sapi dan satu kolam lele, sedangkan istrinya mbak Rini bekerja di pabrik garment.Â
Dan yang terakhir adalah adikku. Ia saat ini  sedang sekolah dijenjang SMA kelas XI. Meskipun saat ini dia duduk di kelas XI tetapi teman-teman sebayanya sudah bekerja. Itu karena beberapa kali adikku tidak naik kelas sewaktu sekolah di jenjang MI.
Adikku mempunya sebuah penyakit mental yakni skizofrenia. Selain itu dia juga agak terbelakang dibanding yang lainya karena dia lamban saat mempelajari sesuatu. Sebenarnya bukan hanya adikku yang punya penyakit skizofrenia, meskipun belum pernah diperiksakan ke dokter jiwa tapi saya tahu kalau ayahku juga menderita skizofrenia.Â
Saya bisa mengatakan ayahku sakit karena ciri-cirinya sama dengan penderita skizofrenia. Dia setiap hari berbicara sendiri padahal tak ada lawan bicara, sering tiba-tiba marah, suka kawatir, selalu berprasangka buruk kalau barang-barang seperti beras katanya habis dicuri orang, padahal habis dikonsumsi keluarga sendiri.Â
Tak seprti adikku yang aku peruksakan ke dokter jiwa, Ayahku tidak diperiksakan karana kami bingung bagaimana cara mengajakmya. Kalau diajak secara paksa kami kawatir kalau nanti  ada dendam yang muncul. Ibuku kadang-kadang sampai setres karena mau keluar rumah tidak diperbolehkan oleh ayahku. Dan ayahku saat ini tidak peduli dengan kondisi ekonomi keluarga, bahkan diam-diam dia malah hutang rokok ke warung.
Saat ini untuk biaya  makan mbak Rini lah yang diandalkan, karena satu-satunya orang di rumah ini yang masih bekerja di tengah-tengah wabah covid 19 ini dan untungnya dia orangnya sangat legowo, setidaknya kelihatan seperti itu, saya tidak tahu di dalam batinnya seperti apa. Tentu saja aku merasa terpukul dengan kondisi seperti ini.Â
Saya sudah beberpa kali melamar kerja tapi belum dapat. Sebenarnya ada beberapa kali panggilan wawancara tapi tidak diperbolehkan kakakku. Katanya disuruh menunggu sampai habis lebaran. Sebenarnya saya sudah bekerja di sebuah rumah makan, akan tetapi sudah hampir dua bulan libur karena wabah covid 19. Selain itu saya juga sudah  sekitar dua bulan lulus kuliah tapi belum wisuda.
Sedih hatiku karena seharusnya disaat seperti ini sebagai anak lelaki bisa meringankan beban orang tua, akan tetapi kenyataanya sebaliknya masih suka rebahan tanpa ada yang dihasilkan, masih suka malas-malasan.Â
Padahal diusia seperti ini harusnya sudah ada pandangan arah hidup mau kemana. Yang ada dipikiranku saat ini adalah segera dapat kerja, penghasilannya buat bantu orang tua, sebagian dikumpulkan untuk modal usaha supaya bisa mewujudkan mimpiku jadi pengusaha mengentaskan ekonomi keluarga, lalu bisa kuliah S2, membangun keluarga dan menciptakan lapangan kerja. Semoga Allah mengabulkan apa yang aku hajatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H