Mohon tunggu...
Adi Setiawan
Adi Setiawan Mohon Tunggu... Koki - Masih belajar

Tulisan Bebas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nestapa Stagen Tenun Tradisional

30 Oktober 2018   17:22 Diperbarui: 30 Oktober 2018   17:45 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah Puluhan tahun ibu Jainatun menjadi pengrajin stagen tenun. Stagen adalah semacam korset berbentuk kain panjang yang dililitkan ke perut, kalau jaman dahulu biasanya dipakai oleh kaum hawa.

Ditengah-tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat, Sampai saat ini ia masih bertahan dengan alat tenun tradisional. Alasannya adalah karena biaya modalnya besar.

Saat berbicara terkait tenun, perempuan yang berusia 64 tahun itu punya banyak cerita. Setiap harinya ia bergelut dengan alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu dirumahnya di Dukuh Blimbing, Desa Luwang, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo.

Dia mengatakan bahwa menjadi pengrajin stagen tenun sejak tahun 1975. "Saya menjadi pengarajin tenun sudah lama, sejak masih gadis sampai sekarang" ungkapnya. "Waktu itu saya lulus sekolah langsung belajar tenun", imbuhnya.

Sambil menata benang yang akan ditenun, ibu Jainatun itu menceritakan pengalamannya. "Klotak,klotak,klotak", Kayu-kayu yang saling bergesekan itu membuat bunyi yang keras, terlihat rekan kerjanya sedang mengoperasikan alat tenun tradisional. "Dulu yang kerja disini ada banyak mas, disini penuh orang, tapi sekarang sudah pada pergi, pindah ke pabrik, yang tersisa ya tinggal tiga orang yang masih bekerja, sudah tua-tua, alat tenunnya sekarang juga sudah ditumpuk-tumpuk karena tidak terpakai" jelasnya.

Ibu lima anak ini menjelaskan bahwa dari ke lima anaknya tidak ada satupun yang bisa menenun, mereka lebih memilih bekerja di pabrik, karena upahnya lebih banyak. Dia mengatakan bahwa hasil dari tenun stagen ini tidak seberapa, keuntungan dari modal yang dikeluarkan sangat sedikit.  Satu stagen oleh pengepul dihargai 9.500, dan itu butuh proses yang panjang. Dalam sehari total produksi hanya sekitar 10 potong, itu pun dibantu oleh tiga orang.

"Nek dihitung-hitung sebenarnya nggak cucuk mas sama tenaganya, kalau mau berhenti eman-eman" tambahnya menjelaskan. Ibu bercucu lima itu mengatakan kalau sebenarnya pekerjaan ini dilakukan sudah tidak dengan sepenuh hati, timbang nganggur katanya. 

Dalam menjual produknya ini dia bisa menyetorkan hasil produksinya kapan saja, tidak terikat waktu dan target. "Kalau kedesak butuh uang untuk beli benang, hasil produksi langsung di setorkan ke pengepul, tapi kalau tidak terdesak biasanya dikumpulkan dulu". Ungkapnya. Dia juga menambahkan kalau sekarang sudah enak, karena sudah ada yang mengambil barangnya, berbeda dengan dulu, dia harus menjualnya sendiri keliling pasar.

"Sing paling jengkel ya kaya gini mas, mbundel-mbundel benange, biasane saya buang, nggak saya pakai lagi, soale lama nek benakne" jelas Jaitun menggunakan bahasa indonesia campur jawa. Dia mengatakan kalau memakai benang yang murah, resikonya dia harus bekrja ekstra, nyuci benangnya dulu, merapikan, menyambung benang-benang yang putus. Beda dengan yang mahal, tinggal pakai, benagnya juga nggk putus-putus. Untuk yang murah harga benangnya per kilo 20.000, sedangkan yang mahal 51.000. "Kalau pakai yang mahal enak, nggak kerja banyak, tapi untungny sedikit banget ungkapnya.

Suryanti(60), wanita sepuh yang berbadan agak kurus sebagai salah satu pekerja mengatakan kalau dia sudah puluhan tahun bekerja di tempat ibu Jainatun. "Saya bekerja disini sudah lama mas, sejak saya masih legan" terangnya.  Alasannya sama dengan Jainatun, timbang nganggur katanya.

Sambil tanganya mengoperasikan alat tenun yang terbuat dari kayu itu, ia bercerita kalau sistem kerjanya adalah borongan, upahnya dihitung berdasarkan jumlah hasil tenunan."Upahnya yang ukuran 4 meter per potong 2500, ukuran 8 meter perpotong 5000", jelas wanita berambut putih itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun