Mohon tunggu...
adhy rical
adhy rical Mohon Tunggu... Lainnya - pekerja seni

pekerja seni

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tentang Seseorang #1

15 Januari 2011   16:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:33 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan Sebelum ke HukaEa-LaEa Sebenarnya tak ada rencana berangkat subuh ini. Ada banyak pekerjaan yang belum tuntas. Yang paling mendebarkan adalah sebuah janji pada seseorang belum kutepati. Janji adalah utang. Jika benar begitu, maka hanya menulislah utang terjelaskan. Kau tak tahu jalan, kawan. Kali ini, aku harus sok tahu. Memasuki kampung yang dianggap bekas gerombolan dan tak pernah diakui pemerintah sebagai bagian dari wilayah provinsi butuh ketenangan lebih. Tak cukup keberanian dan doa sebagaimana pedestrian lainnya. Kau harus meminum air di tujuh sumur batu. Berharaplah agar sumur itu tak berulat. Jika tidak, maka aku harus mengantarmu pulang ke Kendari. Itu tradisi tetua Moronene, kawan. Sumur batu adalah penjelmaan Anawai Ngguluri, bidadari yang membuat Oheopatah hati. Bacalah Nawang Wulan dan Jaka Tarub, kau akan lihat benang merah. Pada hutan Tawuna Ula, kau dapat mencium aroma gaharu dan bila beruntung dapat melihat kayu-kayu menyala seperti kunang-kunang. Aku takut, kau terpesona hingga kakimu putus gara-gara buaya. Padahal pagi hari dapat kau lihat jonga berloncatan memburu matahari dan burung nuri mengepak di atasnya. Buaya! Entah mengapa, aku sangat menyukai hewan ini. Aku kadang tertawa jika ada pelabelan negatif tentangnya. Mungkin tentang kita: laki-laki. Haha. Tapi bukan begitu maksudku. Yang kutahu, buayalah hewan paling penyayang pada anaknya. Nah, jika kau nikah nanti, peganglah falsafah buaya. Kata tetua begitu. Tak percaya? "Apa yang kau takutkan, Dhy?" Katamu sore tadi. "Aku hanya takut jika orang kampung itu tak mencintaiku lagi." "Kenapa?" "Sudah dua tahun tak mengunjungi mereka." "Cuma itu?" Sepertinya begitu. Dua tahun lalu, musim yang sama: hujan dan ramadan. Tradisi yang kutinggalkan lagi. Tak puasa pertama di rumah sendiri. Hanya Ikan Bambu. Jika kau ingin menghubungi seseorang, naiklah bukit. Selain sinyal satu batu, kau tak sendiri, kunang-kunang dan wangi gaharu memelukmu. Kau harus bawa suling bambu. Itu benda paling berharga buat lelaki mata satu yang setiap hari duduk di punggung kerbau. Benda itu pula yang akan membawamu pada tabib janggut putih dan bunda Mio. Kukira, dua hari bukan waktu yang lama. Padahal hanya 48 rumah dan 98 kk di sana. Kau tak perlu kaget. Aku hapal benar semua nama pemilik rumah dan segala perabotannya. Bukankah aku telah membuat peta dan denah lokasi kampung itu? "Kata-kata itu lebih tajam daripada gambar, Dhy!" Katamu. Benar. Aku hanya tak terbiasa menghujat. Aku hanya ingin mencubit tapi tak terasa sakit. Seperti buaya yang diam-diam mengintipmu. Kau hanya butuh tiga detik bergerak sebelum matanya benar-benar menatap matamu. "Kok buaya lagi?" "Tadi kan udah kubilang, penyuka buaya." (Sayang kau laki-laki. Jika perempuan, mungkin sejak tadi menyukaiku-ehem-) "Romantis sekali hidupmu, mas Adhy." Kata Dwi Klik Santoso beberapa waktu lalu. Ini salah besar (sebenarnya diam-diam bilang yes! haha). "Kenapa?" Katamu lagi. (Yang ini tak perlu pake tanda petik ya?) Aku sudah melihat banyak luka di sana. Ada dendam yang tak ingin digenapkan. Mereka senang dengan keganjilan. Hidup di tengah hutan, tak terlibat suasana kota. Kau boleh cari di internet tentang kampung itu. Lalu lihat dan bercakaplah dengan mereka. Betapa berita tak begitu bijak. Benar, itulah kampung yang pernah dibakar rata dalam Operasi Sapu Jagat. Merekalah yang pernah dipenjara satu tahun sebelas hari tanpa tahu salah apa. Bayangkan, seorang ibu harus dipaksa melahirkan dengan todongan senjata. Bayangkan, ketika salat Jumat, mereka dikumpulkan dalam masjid dan... dor! (Jangan memakai sepatu yang berbunyi seperti laras, bisikku, padamu). Tanyalah sendiri! Akan kutinggalkan dirimu. Aku lebih memilih bertemu Ayu, perempuan berjari dua belas yang setiap purnama mengeluarkan darah di jarinya. Sepertinya, itulah darah yang keluar hingga dewasa nanti. Hmm, Ayu, kau pasti tambah cantik. Lima belas usiamu, kini. Sayang sekali, kau tak lebaran di sini sebab ada satu tradisi tetua berburu jonga menyambut hari raya. Kelak kau akan tahu, kuda tak begitu bertenaga di sana. Jika hari tak berpihak, maka catatan ini adalah permohonan maaf kepada seseorang yang belum kugenapi janji yang seharusnya selesai. Maaf lahir dan batin, kang Dedy Setiadi. Terima kasih. Seperti katamu: "Kepalkan cintamu dan lemparkan ke hatinya dengan nafsumu. Aku ikut berteriak 'merdeka', karenanya". Kendari, 2010 â—˜ Adhy Rical [caption id="attachment_84860" align="alignright" width="432" caption="depan rumah ayu (foto: adhy rical, 2010)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun