Mohon tunggu...
Adhyra Irianto
Adhyra Irianto Mohon Tunggu... Seniman - Penulis, seniman teater (tingkat kecamatan)

Penulis magang dan seniman tingkat kecamatan. Freelancer dan full time blogger.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tragedi Pagi

24 Maret 2015   01:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:11 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TRAGEDI PAGI

Aku masih sangat kecil waktu itu. Ketika di suatu pagi, dengan seragam merah putih, aku melangkah gontai menuju sekolah. Menendang setiap batu dan kerikil yang berada di sepanjang jalan. Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, aku juga membawa tas gendong, botol minuman dan bekal makan siang dari ibu.

Salah satu bagian yang paling aku nantikan ketika pergi sekolah, lewat sebuah rumah yang asri dengan banyak pepohonan menghiasi sekelilingnya. Rumah itu berwarna hijau muda, berpadu dengan warna-warni bunga di teras dan dekat jendela. Diah namanya, teman sebangku yang selalu dapat rangking satu. Setiap lewat depan rumahnya, aku pasti berhenti sejenak kemudian berteriak memanggil namanya. Tentunya, agar ku dan dia bisa berbarengan berangkat sekolah. Wajahnya juga manis sekali, sehingga sering terbayang ketika mau tidur. Ah, katakan saja dia cinta monyetku, ketika sekolah dasar.

“Diah! Diah! Diah!”

Aku berteriak khas anak SD di depan rumahnya. Anda pasti tahu bagaimana cara memanggil sambil berteriak khas anak SD, kan? Nada yang bergelombang, dengan sedikit penekanan pada frase awal kata, kemudian bagian akhir kata tersebut dipanjangkan.

Tapi, pagi ini sedikit berbeda. Dua orang berbadan besar membawa Diah keluar rumah dengan paksa. Seorang diantaranya adalah perempuan segera membukakan pintu mobil dan seorang pria menutup mulut Diah, sehingga perempuan kecil itu tidak bisa sedikitpun bersuara. Aku ketakutan dan bersembunyi dibalik pagar bambu rumahnya. Dari sela-sela pagar yang sedikit tertutup dedaunan dari batang bonsai, jelas sekali kulihat wajah sayu Diah. Bahkan, ada sesaat aku dan Diah saling berpandangan. Disaat itu, lewat matanya, ia seakan berbisik lirih.

“Tolong aku…”

Sebenarnya, aku ingin sekali keluar dari persembunyianku kemudian dengan gagah berani menghajar kedua orang itu. Tapi, benar-benar tidak logis bila anak SD macam aku, akan sendirian melawan dua orang dewasa berbadan besar itu. Bisa-bisa, aku malah ikut diseretnya ke dalam mobil, seperti Diah. Katakan saja, aku takut!

Lama setelah itu, kedua orang itu sudah ikut masuk kedalam mobil. Sebuah mobil Sedan jenis Corolla berwarna merah tua, dengan banyak goresan dimana-mana. Selain itu, ada penyok dibagian depan sebelah kanan. Aku juga masih ingat benar wajah kedua orang  itu, juga dengan pakaian serba hitam khas mafia dalam film-film China, tontonan ayahku  setiap malam.

Setelah mobil itu beranjak pergi, aku segera berlari pulang ke rumah. Sambil berlari, aku berkata pada diriku sendiri, bahwa akan aku selamatkan perempuan manis dan pintar itu dari tangan para penjahat. Teringat lagi wajah sendu Diah yang mengiris kalbu, ketika dibawa oleh salah seorang penjahat itu. Semakin wajah itu terngiang, semakin cepat kupacu langkahku. Tak terasa, pakaian sekolahku sudah basah dengan peluh.

Pintu rumah masih terbuka, hingga aku langsung saja menerobos ke dalam rumah. Saat itu, ayahku belum berangkat kerja sedangkan ibuku masih asyik berkutat dengan sarapannya. Wajah kedua orang itu aneh, sekaligus merah menahan marah. Wajar saja, karena anak yang dikira akan segera menimba ilmu di sekolah,  malah kembali pulang.

“Kenapa kau tidak sekolah!” jerit ibuku.

“Bu! Masalah ini jauh lebih penting daripada sekedar sekolah! Ini tentang nyawa seorang anak!” teriakku.

Ayahku tercengang, sampai menjatuhkan Koran yang sedari tadi masih dibacanya. Sedangkan ibu, tambah melotot matanya.

“Nyawa siapa?”

Ayahku bertanya dengan mata mendelik. Sedangkan ibu berulang-ulang memalingkan wajah kepadaku lalu ayah, ke wajahku, kewajah ayah, begitu berulang-ulang. Mungkin, ia kalut, karena rasa bingung, marah dan aneh bergabung menjadi satu.

“Diah, teman sebangkuku, dia diculik, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri,” teriakku.

Ayah segera mendekatiku dan menanyakan segala halnya secara detil. Sedangkan ibuku, masih bertahan dengan wajah bingung, sekaligus marah. Satu hal yang tidak ku sangka adalah, setelah menceritakan kronologi kejadiannya secara runut dan rinci, aku malah menangis. Antara ketakutan berpadu dengan rasa khawatir pada nasib Diah.

Ayah segera menghubungi polisi lewat telepon. Sedangkan ibu lebih memilih pergi kerumah Diah untuk memastikan kebenaran ceritaku. Sedangkan aku, lari ke kamar dan melanjutkan menangis dari balik selimut. Wajar sajalah, anak kecil semacam aku ini hanya bisa menangis untuk menyelesaikan masalah. Meskipun, setelah dewasa aku baru sadari kalau menangis itu bukan termasuk salah satu solusi.

Tangisku terhenti, ketika ayah dengan wajah penuh peluh mendatangiku ke kamar.

“Kau tetap di kamar dan jangan kemana-mana dulu, kalau benar yang kau ceritakan, maka kau akan jadi saksi kunci dari kasus ini,”kata ayah, sangat penuh semangat. Se-semangat itu juga ketika ia membanting pintu kamarku dan keluar dengan terburu-buru.

Oh, ini benar-benar mendebarkan. Aku adalah saksi kunci dari kasus ini. Berarti, penyelesaian kasus ini, semuanya tergantung padaku. Ah, aku menjadi seseorang yang berarti. Semakin terbayang lagi wajah Diah di kepalaku. Wajahnya yang penuh ketakutan, basah oleh air mata, ketika dibawa paksa oleh para penjahat itu keatas mobil.

Diah adalah seorang anak yang ceria, meskipun ayah dan ibunya selalu jarang ada dirumah. Bahkan, bertahun-tahun aku kenal dengannya, aku tidak kenal sama sekali dengan kedua orang tuanya. Dari cerita yang sering kudengar dari mulut Diah sendiri, kedua orangtuanya bekerja di luar negeri. Dalam beberapa waktu saja dalam satu tahun, mereka akan pulang. Hingga, untuk beberapa lama ini, Diah tinggal bersama neneknya, dirumah penuh bunga, seperti yang ku ceritakan diawal tadi.

Tiba-tiba, pintu kamarku digedor dengan keras. Aku terfikir, apakah ini petugas polisi, yang perlu data dari saksi kunci, atau jangan-jangan, para penjahat tadi sudah mengetahui kediamanku dan berniat untuk menutup mulutku. Jantungku mulai berdetak kencang, sedangkan wajahku pucat pasi. Seperti biasa, aku masuk kedalam selimut untuk kesekian kali. Bagi anak-anak semacam aku, selimut adalah benteng pertahanan terakhir yang tidak akan bisa ditembus oleh siapapun. Kecuali, Ibu!

“Hei, kenapa kau malah bersembunyi dibalik selimut seperti ini! Kenapa juga kau tidak bilang kalau di sekolahmu sedang ada ujian! Kau mau tidak naik kelas!”bentak ibu setelah menarik selimutku.

Astaga, benar sekali! Hari ini aku ada ujian, sedangkan kulihat sekarang sudah pukul 09.00 WIB. Ternyata, ibu sudah menelepon sekolah dan menceritakan segala perihal yang terjadi pagi ini. Pihak sekolah mengerti dan itu artinya, aku masih dibolehkan untuk pergi sekolah jam segini. Ditambah lagi, setelah melihat ada mobil patrol polisi di depan rumah Diah, aku menjadi semakin semangat. Setidaknya, nanti polisi pasti bisa menangkap penjahat yang menculik sahabatku, Diah.

Aku memacu langkahku lebih cepat menuju sekolah. Sesekali, bila mulai letih, ku pelankan langkahku. Tanpa terasa, meski peluh sudah membasahi seluruh tubuhku, aku sampai juga di sekolah. Kemudian, tanpa banyak berfikir, aku berlari kearah kelasku dan …, sumpah, sekali ini aku benar-benar terkejut!

Betapa tidak, wajah sayu Diah malah menjadi wajah pertama yang menyambutku masuk kedalam kelas. Sedangkan wajah teman-teman yang lain hanya kebingungan, kenapa aku bisa masuk sekolah sesiang ini. Kelas sedang ada ujian, sedangkan Diah, seperti biasanya, selalu menjadi siswa yang selesai mengerjakan soal paling pertama dan dipersilahkan keluar kelas terlebih dahulu. Karena baru datang, dan soal yang harus ku kerjakan baru saja hinggap di mejaku, terpaksa aku harus menahan dulu rasa ingin tahu tentang kejadian yang menimpa Diah pagi ini.

Usai mengerjakan ujian, aku segera berlari keluar kelas menuju perpustakaan. Aku tahu, Diah pasti berlari ke perpustakaan, untuk menyiapkan diri pada ujian selanjutnya. Benar saja, kutemukan dia sedang duduk sendirian disudut prepustakaan. Wajahnya terlalu serius menatap buku yang dibacanya.

“Diah!” kataku mengejutkannya.

Diah terkejut. Bahkan, benar-benar terkejut, hingga roman wajahnya menjadi berbeda. Namun, ia tidak mengomel padaku seperti biasanya. Ia malah diam.

“Apa yang terjadi padamu pagi tadi, Diah?”

Dia tetap diam.

“Diah?”

Ia menatap wajahku dengan tatapan dingin, tetapi tetap diam. Keadaan menjadi hening sesaat, sebelum akhirnya lonceng dari besi tua berwarna kuning menggema, pertanda kembali masuk, untuk ujian selanjutnya.

**

Sampai selesai ujian, Diah tetap diam. Aku tidak tahu ada apa dengan dia. Kenapa setelah kejadian penculikan pagi tadi, ia malah terus diam padaku. Tetapi, bukan berarti ia cuek. Sesekali, aku meminjam penghapus atau peruncing pensil, ia dengan segera akan meminjamkan. Atau, sesekali aku melempar banyolan, ia juga tersenyum. Tetapi, ia tetap tak membuka mulutnya dan tetap diam.

Hingga lonceng dibunyikan dengan panjang, pertanda ujian hari ini selesai dan kami akan pulang. Seperti biasa, aku tetap berjalan beriringan dengan Diah.

“Kenapa kau selalu diam padaku hari ini, Diah?”

Seperti yang kau tahu, ia tetap diam.

“Ceritakan padaku, bagaimana kau bisa lolos dari penculikan pagi tadi!”  teriakku.

Seketika itu juga, wajahnya memerah. Ia menatapku tajam dan melotot matanya. Aku terdiam seketika, tapi tidak mengerti apa maksudnya. Akhirnya, di perjalanan pulang aku dan Diah tetap sama-sama diam.

Namun, aku tercekat, ketika melihat sebuah mobil Sedan, jenis Corolla warna merah tua dengan goresan dimana-mana, juga penyok dibagian depan sebelah kanan, terparkir dengan mantap didepan rumah Diah. Belum lagi hilang kagetku, dua orang berbaju serba hitam, segera keluar rumah dan menyambut Diah dengan ramah. Salah seorang diantaranya, yang laki-laki, menatapku sambil tersenyum.

“Kau, Adhy kan?  Teman sebangkunya Diah?” Tanya lelaki itu.

Aku hanya mengangguk, begitu pula dengan Diah. Mendengar itu, mereka malah tertawa.

“Berarti, kamulah anak yang melaporkan kami atas tuduhan penculikan pada anak kandung kami sendiri, sampai rumah ini dipenuhi mobil patrol,”kata dia masih dengan tertawa.

Aku tambah bingung. Apalagi, ketika lagi-lagi si manis yang mendadak bisu hari ini, Diah, malah ikut-ikutan tersenyum sambil menutup mulutnya.

Setelah itu, aku baru tahu. Ayah dan ibu Diah baru pulang dari luar negeri untuk melihat anaknya, mungkin karena kangen. Ketika sampai kerumah pada pagi hari, mereka mendapati dua gigi depan Diah goyang berbarengan. Goyangannya sudah sedemikian parah, namun gadis cilik itu menolak untuk dicabut. Sampai akhirnya, pagi hari itu, sepasang suami istri ini membawa paksa Diah ke Puskesmas. Setelah itu, Diah kembali diantar kesekolah. Begitu cerita sebenarnya, namun karena aku, semuanya menjadi lebih parah. Ayahku terlambat pergi bekerja, sedangkan ayah dan ibu Diah harus repot berurusan dengan polisi. Benar-benar memalukan. Dan aku pasti akan dimarahi habis-habisan, ketika pulang kerumah nanti.

Satu hal yang kutahu setelah dewasa, seorang perempuan tidak akan mau terlihat jelek di depan lelaki yang ia sukai. Dengan begitu, kau tahu sendiri kan, kenapa Diah selalu diam dan selalu menutup mulutnya padaku seharian?

Curup, 2014.

Adhyra Irianto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun