Beberapa hari lalu, masyarakat dibuat penasaran dan berujung kecewa. Pasalnya pihak Istana belum juga memanggil Ibu Susi yang memberi sinyal bahwa Ibu Susi tidak lagi dipertahankan sebagai pembantu Presiden.
Sontak, para netizen melakukan aksi viralkan tagar "WeWantSUSI" atau kami bersama Ibu Susi. Aksi  ini sempat menjadi tranding topik di Twitter. Namun, aksi itu sama sekali tidak mempengaruhi keputusan Istana untuk tidak memanggil kembali Ibu Susi menjadi menteri.
Kekecewaan sebagian masyarakat tersebut wajar-wajar saja. Karena, mereka menilai Ibu Susi Pudjiastuti adalah sosok yang unik. Sosok pejabat yang tidak terlalu memusingkan keprotokolan pejabat negara. Beliau tampil di publik apa adanya. Kesederhanaan beliau itulah menggambarkan bahwa beliau sangat jauh dari praktek korupsi.
Selain itu, di masa kepemimpinan Ibu Susi kondisi laut Indonesia aman dari para perompak. Para nelayan nakal berpikir dua kali untuk menjalankan aksi penjarahan terhadap laut Indonesia. Mereka sangat takut dan segan kepada Ibu Susi karena kata saktinya "Tenggelamkan".
Hal-hal inilah yang membuat Ibu Susi menjadi "kesayangan" publik. Beliau juga dinobatkan publik sebagai salah satu Srikandi dalam kabinet Jokowi. Tapi, kenapa Beliau tidak dipanggil lagi pihak Istana untuk masuk dalam Kabinet Indonesia Maju yang dinakhodai Jokowi, Tuannya dulu ?
Tentu saja, sebagai Tuannya, Jokowi lebih tahu kemampuan seorang Ibu Susi ketimbang anda dan saya. Tapi paling tidak saya coba menduga alasan kenapa Ibu Susi didepak dari Kabinet Indonesia Maju. Alasan yang paling rasional adalah masalah kinerja.
Memang, kinerja Ibu Susi dinilai bagus dalam mengatasi aksi pencurian sumber daya laut Indonesia. Tapi dari sisi peningkatan kesejahteraan nelayan dan peningkatan pendapatan negara di sektor perikanan dan kelautan, Ibu Susi dianggap gagal.
Kebijakan Beliau dalam hal perizinan operasional kapal dianggap menyulitkan nelayan, terutama pada kelompok kapal perikanan di atas 30 GT. Akibatnya, waktu nelayan banyak habis hanya urusan administrasi belaka ketimbang urusan melaut. Jelas, ini akan mempengaruhi hasil tangkapan nelayan.
Keluhan tentang kinerja Ibu Susi juga datang dari Kementerian Keuangan yang mempersoalkan kurangnya pendapatan dari sektor pajak perikanan dan kelautan. Bayangkan, luasnya laut Indonesia dan begitu kaya laut kita tapi pendapatan di sektor ini sangat kecil.
Jika kita lihat postur APBN tahun 2018, terlihat bahwa total seluruh penerimaan negara adalah sebesar Rp. 1.942,3 Trilyun. Sementara pendapatan negara dari sektor perikanan dan kelautan hanya sebesar Rp.1,6 Trilyun atau belum mencukupi 1% dari total penerimaan negara.
Selain itu, kebijakan tata kelola perikanan dan kelautan di daerah masih menimbulkan masalah. Kita tentu masih ingat bagaimana seorang Gubernur Maluku, Murad Ismail beberapa waktu lalu menyatakan "perang" dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dikomandoi Ibu Susi itu.