Mohon tunggu...
Adhye Panritalopi
Adhye Panritalopi Mohon Tunggu... profesional -

Alumni Fak. Hukum Univ. Hasanuddin Makassar#Penyair dari Komunitas Halte Kayu Makassar#Penulis tetap di www.negarahukum.com# "AKAN ada banyak "WARNA" sebagi pilihan, tapi seorang SARJANA HUKUM harus berani menerima "HITAM dan PUTIH" sebaggi REALITA" ___Twitter @adhyjudo__FB: Adhye Panrita Lopi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Untuk Capres-Cawapres

18 April 2014   23:47 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:30 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13978258411206619941

[caption id="attachment_332279" align="aligncenter" width="624" caption="Maskot Kotak Suara Pemilu 2014 | Ilustrasi/ Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

/1/
kenapa akhir-akhir ini saya merasa teori-teori sudah lari meninggalkan buku-buku?. saya juga merasa kitab-kitab suci tak lagi menyebut nama Tuhan? ada apa ini? benarkah perubahan begitu cepat sehingga manusia sudah tak butuh dengan teori-teori? sehingga manusia secepat itu menghapus nama Tuhan dalam kitab-kitabnya? lalu bagaimana dengan anak-cucu kita? benarkah mereka nantinya tidak butuh lagi dengan teori-teori? benarkah mereka nantinya tidak perlu lagi mengenal Tuhan? atau paling tidak menyebut nama Tuhan?.

/2/

"ssssssstt...jangan ribut! saya yakin kalau tembok-tembok dan tiang-tiang listrik di luar sana mendengarkan percakapan kita. mereka juga punya mata-mata yang di pasang di dinding-dinging rumah kita. saya takut mereka mendengar percakapan kita, lalu mereka murka karena mereka merasa terusik. saya juga takut, mereka akan melihat kita. mereka melihat tubuh kita yang dekil. melihat kulit kita yang penuh daki. melihat badan kita yang kurus kerempeng, hingga membuat mata mereka jadi juling.  mata mereka juling, ya ... julinggg!"
bisik ayahku.
/3/

hei, tuan-tuan yang disana!. kenapa kau diam saja?. apakah kalian sudah bisu?. apa kalian sudah tidur?. atau kalian masih betah diatas perut para pelacur?.  bicaralah tuan !, ayo bicara!. kalau tuan-tuan tidak mau bicara biar kami yang bicara. mau dengar cerita kami tuan?. mau?. mau tidak neh?. oke, saya bicara tuan!:

/4/

tuan-tuan,
makian mana yang tuan mau dengar duluan?. tentang saya, atau tentang tuan dulu?. tuan, begini saja tuan, sebeluam kami memaki tuan-tuan, dengarkan dahulu keluh-kesah kami tuan. kami ini anak negerimu tuan. anak yang lahir dalam pangkuan ibu pertiwi. ibu tuan, ibu kami juga. tapi kenapa, kenapa tuan tidak kena lumpur?. kenapa rumah tuan tidak kebanjiran?. kenapa perut tuan tidak kelaparan?. kenapa tidur tuan lebih nyenyak dari tidur kami?. anak-anak tuan lebih gembira dari anak-anak kami?. istri-istri tuan makin cantik dari istri-istri kami?. kenapa tuan?.

/5/

tuan-tuan,
bolehkah kami meminta harga dari sejengkal harapan kami tuan?. bolehkah kami menagih mimpi dari sepersen janji yang pernah tuan bisikkan di telinga kami?. bolehkah kami meminta sebiji dua biji dari padi yang tuan tanam di samping kuburan moyang kami?. bolehkah pula kami mencicipi sedikit sarapan pagimu tuan?. sarapan yang terbuat dari keju special yang di beli istri tuan saat tuan dan istri tuan berlibur disana. please tuan, berilah kami sedikit saja!. sedikit saja tuan!.
: beri kami bukti, bukan janji semata janji tuan !.[] [] [] []Adhye PanritalopiMakassar, Negeri Para Daeng18 - April - 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun