Mohon tunggu...
Adhye Panritalopi
Adhye Panritalopi Mohon Tunggu... profesional -

Alumni Fak. Hukum Univ. Hasanuddin Makassar#Penyair dari Komunitas Halte Kayu Makassar#Penulis tetap di www.negarahukum.com# "AKAN ada banyak "WARNA" sebagi pilihan, tapi seorang SARJANA HUKUM harus berani menerima "HITAM dan PUTIH" sebaggi REALITA" ___Twitter @adhyjudo__FB: Adhye Panrita Lopi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Saat Subuh Benar-benar Runtuh

13 Oktober 2016   15:06 Diperbarui: 13 Oktober 2016   15:19 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kemarin, saat petang, di tengah gubuk tempat dimana para ulama negeri ini menemukan Tuhan. Ku jumpai serentetan kata menyala-nyala di dalam ruang gelap berongga. Tepat di samping ruas dada para pencari kuasa. Cahyanya mirip nyala matahari pagi yang mencoba menerobos celah dedaunan di tengah hutan belantara.

:inikah penanda esok subuh akan runtuh?

Gurat kecemasan seketika menyebar ke segala arah. Dalam nalarku. Seakan mencari tahu, bahwa benar akan ada sebuah peradaban di kota ini yang binasa seiring lenyapnya nyala sayap kunang-kunang.

:ah, sepertinya tawa dan tangis anak-anak gembala jauh lebih tahu.

Adalah nyanyian merdu di tengah-tengah hamparan duka kawanan anak kambing. Layaknya doa, itulah nyanyian penghibur sang gembala. Nyanyian penghibur rasa sedihnya di saat hewan peliharaannya sedang kelaparan. Salahnya sendiri, sebab selama ini ia terlalu sibuk mengamati mimpi dan lamunan para santri yang ke-asyikan berteduh di bawah pohon beringin. Jauh di pinggiran seberang sungai itu.

Apa boleh buat. Musim gugur sudah tiba. Dan, daun-daun kering segera membacakan sumpah di atas mimbar penuh liur. Serupa tembang kenangan, inilah lagu yang tercipta jauh sebelum percikan bara api dalam tungku mengenai muka. Seakan tiada habisnya. Terus menikam hening. Seakan lupa, bahwa air sungai yang mengaliri sawah-sawah petani kini sudah kembali bening.

Benar jua, mungkin pantulan suara adzan di dinding telinga kali ini hanyalah getar yang tak berarti apa-apa. Tak seperti nyali seorang anak dengan tepukan tangannya seakan menantang seekor cicak beradu tak tik dalam menangkap nyamuk.

Biar, biarkanlah hari-hari dan detak jarum jam dinding di kamarku yang akan menghitung berapa jumlah kata-kata. Barapa jumlah ikatan puisi yang tercipta sampai hari ini. Saat dimana subuh benar-benar runtuh. Bersama runtuhnya moral anak bangsa di sebabkan genangan air mani bercampur liur.

~ AdhyePanritaLopi, Negeri Para Daeng, Oktober 2016 ~

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun