serupa kopi dalam gelas
hidupku mengental kelam_hitam
anganku melepuh sejak kemarin sore
gigil angin datang membawa pesan Tuhania lalu berseru:
"aduklah takdirmu dalam segelas kopi itu kawan"
dan sore ini
kukabarkan pada senja
sekarang aku di jalur lara
diatas jalan setapak berkerikil tajam
duka menjadi alas semua harap
kesedihan kian meruncingmata-mata hanya memandangiku iba
disini,kucumbui luka
kudekap erat kenangan
kudapati mimpi terbujur kaku di kaki malam
:gelap menikam mimpiku
air mata
air mata
ada air mata yang tumpah di jalan-jalandi bawah kolom rumah-rumah pencari Tuhan
pucuk kenangan menjelma haru
lalu air mata mengalir deras
deras sekali
menuju telaga
ya, menuju telaga yang entah
:cinta, telagamu ada dimana?
aku merasakan sunyi
tak ada bisikan dari langit
yang ada hanya kelebat
serupa canda yang tersesat
luka hati kian menganga
tangis pun pecah berkali-kali
mengiringi langkah takdirku yang menggigil
:hidup, inikah wujudmu?, kemana Tuhan?
aku merasa gundah
melihat ujung jalan lara yang entah
bait-bait kesal akhirnya datang menggoda
di hadapan cermin yang retak
di dalam rahim puisi yang remuk
aku menjadi manusia pesakitan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H