(Ilustrasi: change.org)
Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin dan Tim 8 sudah mengumumkan 33 tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia sejak tahun 1900 sampai saat ini. Pengumuman ini pun di ikuti dengan diterbitkannya buku dengan judul yang sama "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh". Buku ini di tulis oleh Jamal D. Raman, dkk.
Secara garis besar penulis melihat tidak ada yang istimewa dalam penerbitan buku ini. Yang membuat buku ini kemudian menjadi istimewa karena adanya polemik di kalangan sastrawan yang menganggap bahwa buku ini sarat dengan nuansa kepentingan pihak-pihak tertentu. Anggapan dan kecurigaan ini muncul setelah melihat nama Denny JA nangkring dalam daftar 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh.
Banyak kalangan utamanya para pemerhati dunia sastra di Indonesia menilai bahwa sosok Danny JA tidak layak masuk dalam daftar 33 tokoh sastra Indonesia yang paling berpengaruh. Alasannya, karena Denny JA selama ini lebih di kenal sebagai konsultan politik dan pendiri PT. Lingkaran Survei Indonesia (PT. LSI) dari pada sosoknya sebagai sastrawan nusantara.
Selain alasan tersebut, ada juga kalangan yang menilai bahwa Tim 8 yang terdiri dari Jamal D. Rahman (Ketua), Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah sama sekali tidak berhasil mengurai definisi dan kriteria yang definitif atas kata "pengaruh" dan "tokoh sastra" dalam judul buku ini.
Menurut para sastrawan yang berusaha keras menolak pun mereka yang tidak setuju dengan buku ini, kata "pengaruh" dan "tokoh sastra" pada judul buku ini menimbulkan kekaburan arti dan makna. Mereka menganggap ada ketidakjelasan definisi dan kriteria mengenai tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh yang di tetapkan dalam buku ini. Yang kemudian kriteria ini tidak di jelaskan dan tidak di tunjukkan oleh tim 8 selaku penggarap buku ini.
Karena alasan-alasan seperti itulah, maka kemudian banyak kalangan sastrawan dan pemerhati dunia sastra kemudian berusaha keras menolak peredaran buku ini. Penolakan buku ini terjadi di mana-mana. Di media-media, baik media on line maupun media cetak. Ada yang menyatakan penolakannya melalui koran, ada yang melalui status di Fesbuk, ada pula yang menolaknya melalui ocehan di twitter. Bahkan di Kompasiana ini pun beberapa hari yang lalu ada yang menulis artikel yang intinya menolak kehadiran buku ini.
Berita paling terbaru dan cukup heboh, bahwa kemarin sejumlah orang yang di komandani Saut Situmorang, sastrawan asal Yogyakarta, membuat petisi online di change.org. Petisi ini mereka buat untuk mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional RI, M. Nuh untuk menunda atau pun agar segera menghentikan sementara waktu peredaran buku kontroversial ini.
Melalui petisi itu, mereka yang tidak sepakat dengan isi buku ini kini mencari dukungan masyarakat untuk mendesak pemerintah menghentikan peredaran buku tersebut. Cukup jelas, bahwa kini ada banyak orang yang terang-terangan hendak memboikot peredaran buku ini. Tapi, apakah aksi penolakan buku ini wajar kita lakukan dengan jalan pemboikotan?. Saya sendiri menganggapnya ini hal yang tidak wajar dilakukan.