nona,
bila akhirnya kuucapkan selamat tinggal padamu, itu bukan berarti aku akan melupakanmu tuk selamanya nona. namun, barangkali dengan cara itu, aku hanya ingin menyelamatkan segumpal daging dalam tubuhku ini. sungguh nona, aku takut kau akan menghaguskan seluruh daging dalam tubuhku ini. apalagi dengan cintamu yang menyala, lalu perlahan aku mencium aroma hangus pada jiwamu.
/5/
nona,
biarlah, biar kutelan saja tangisan rindu yang selalu kau cambukkan di benakku ini. pula tangisan luka cakar oleh kuku-kukumu yang kau hujamkan tepat di ulu hatiku ini. mudah-mudahan saja air mata dalam tangisku ini bisa menjadi tinta buat menulis kisah kau dan aku. ini janjiku nona, kan kutulis kisah ini disamping kuburan yang pernah kau gali untuk jasadku. barangkali kelak, saat kau bersiarah ke kuburanku itu, kau masih bisa mengingat jika kita pernah sama-sama menyulam kisah ini dibawah hujan asmara buta.
/6/
nona,
selamat jalan untukmu nona. kini tak usah lagi kau takut berlayar pada lautan kata-kataku ini. bukankah dari dulu kau t'lah belajar berenang dalam genangan air mata yang menetes dari cela keindahan puisi-puisi para pujangga pujaanmu itu nona?. sementara aku, aku ini siapa nona?. bukankah aku ini hanya lelaki penikmat luka?. bukankah aku ini hanya sosok pecundang yang selalu bersembunyi di balik retorika sepi?. dan, agar kau tahu nona, aku bukanlah sosok yang pernah berdiri dideretan para pujangga yang selalu kau puji.
/7/
nona,
sudah, cukuplah sudah nona!. aku juga sudah cukup lelah memainkan teka-teki ini. barangkali memang sudah waktunya aku dan jiwaku berenang di lautan adzan. bukankah seruan adzan memang lebih renyah dari pada seruan cinta yang selalu kau kumandangkan di setiap penghujung tidurku dahulu nona?. seruan cinta yang hanya bisa mendamaikan nafsu ketimbang batinku ini: