(Ilustrasi: tempo.co)***aku di rel sebelah
menunggu datangnya petir
menyambar kalimat-kalimat durja
dari janji lidah-lidah pendusta
aku di rel sebelah
mendiami rumah-rumah pikun
menyaksikan pesta penguasa rimba
yang digelar,
saat menyambut kematian akal
aku di rel sebelah
menikmati indahnya kota kata
menunggu diam sebagai jawaban
atas harapan yang terlanjur kusut
menemani badai yang kehilangan jiwa
aku di rel sebelah
terjepit di ruas waktu
saat gelisah tak lagi bertahta
meninggalkan rahim puisi para pujangga
aku di rel sebelah
menatap canda burung-burung
menyaksikan rupa lintah-lintah
pengisap darah semut-semut
yang baru saja berjalan di garis renta
aku di rel sebelah
menunggu kabar petang kecut
yang gesit berlari ke tebing duka
mengejar pagi bergelang duri
di iringi lagu-lagu dari tanah gersang
aku di rel sebelah
lagi sibuk menebang gerah
dengan tajam larik puisi
bak pisau bermata silet
yang baru saja ku asah di pagi buta
aku di rel sebelah
dalam semedi berteman sendawa
di bawah beringin berdauan kelor
setelah menyaksikan runtuhnya mimpi
di sisi bangunan ayat-ayat purba
aku di rel sebelah
sedang meratapi duka negeri wayang
berteman rima dan bait-bait ompong
di tengah serpihan kata-kata penghujat
di sela-sela rimbun pohon hikmah berdaun samar
aku di rel sebelah
terpenjara dalam kotak dusta
terpasung oleh parade-parade kotor
yang memuntahkan kalimat-kalimat dengki
tanpa tarian pena penghibur lara
aku di rel sebelah
menjadi penyair tanpa makna
mengabarkan lara dari balik rintih gerimis
untuk kalian pemuja-pemuja nafsu
___aku di rel sebelah ___apa kabar,hai ....kau yang disana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H