Mohon tunggu...
Adhyatma Hasbi
Adhyatma Hasbi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

dunia cukup untuk berbagi pengetahuan walau hanya lewat realitas kata. mari menulis untuk mengikat pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku, Kita, dan Idealisme Semu

9 Mei 2013   00:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:52 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Idealisme Semu” kalimat itu berulang kali terlontarkan namun entah mengapa kebodohanku tak sanggup memaknainya. Berkoar-koar demi sebuah perjuangan dan pada akhirnya hanya menjadi sebuah nostalgia belaka.

Yah itu lah “Kita”. Kita diajarkan kebersamaan tapi kita berbeda dalam pemaknannya. Proses menjadi insan ternafikkan dengan ilusi kemerdekaan dan kebebasan yang kita ciptakan sendiri. Dan pada akhirnya “aku” menjadi tidak bebas dalam kemerdekaan semu tadi.

Kita adalah bagian dari aku namun aku "idealisme" belum tentu dapat menjadi kita. Semakin menjadi “kita” seharusnya melebur namun sebaliknya, paradoks itu semakin keliahatan dengan inkonsistensinya yang menjadi kawan. Hanya ada dua pilihan menghilangkan esensi “kita” menjadi “aku” atau tetap menjadi aku yang terpenjarakan.

Titik bifurkasi ini semakin redup dengan adanya tujuan yang sama namun jalan yang berbeda dan konsistensi menjadi lawan. Lupa bahwa konsistensi dalam beridealisme pun kita seharusnya sama namun kita kmbali berbeda dalam pemaknaan. Ini hanyalah masalah pembuktian apakah kita akan konsistensi di jalannya masing-masing.

Tidak kah ilmu itu seharusnya merealitaskan sesuatu dan akan menjadi penerang bagi sisi gelap kita?. Jangan mempertanyakan sesuatu yang kita sudah ketahui bersama atas pembenaran kemalasan untuk menyalahakan diri sendiri. Budaya lisan dan literasi itu hanya sebuah bentuk kritik tapi kita lupa dalam hal tindakan.

Ideologi layaknya tamu kadang menetap dan pergi, apa kita masih seatap untuk menerimanya?. Perlahan tapi pasti, pada akhirnya kita akan menjadi aku. Jangan salahkan kehilanganku seiring kehilangan "idealisme" kita. Pada akhirnya kita akan menjadi aku yang tidak tahu menyalahkan diri sendiri atas abstraksi yang kita ciptakan bersama. Kekecewaan itu ada tapi kita tidak berharap itu datangnya dari aku yang selalu menacri alasan atas inkonsistensinya dalam bertindak.

Dan kita percaya bahawa tujuan akan menjadi abstrak jika tidak adanya konsistensi gerak. lebih baik kita menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan atas ke-akuan kita. Setidaknya kita dapat meragu untuk tidak terlalu lama berdiam diri dalam kemunafikan, yah itu aku, bukan tapi kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun