Mengingat catatan sejarah bangsa ini pernah menggali kuburnya sendiri terhadap tujuan negara Indonesia didirikan, terutama jika MK berani mengakui kegagalannya dua dekade lalu menegakkan kemanusiaan yang adil dan beradab, maka peradaban baru konstitusi tidak perlu memakan waktu yang lama sampai hari ini. Pertanggungjawaban MK terhadap pembatalan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang menyebabkan satu dekade lagi peradaban baru konstitusi di Indonesia kemungkinan dapat segera terwujud.Â
Persis pembatalan UU KKR ini yang mengakhiri jalan hukum dan memperkecil upaya-upaya di luar hukum kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Timor Timur, Tanjung Priok, serta Tragedi Semanggi I dan Semanggi II. Bahkan sejak dua dekade MK membatalkan UU KKR ini bagi kasus, korban, dan hukum itu sendiri sangat menyedihkan sekali. Sebut saja bagi korban penculikan aktivis pro demokrasi sekaligus penyair Wiji Thukul, kebetulan saya pernah bersilaturahmi ke kediamannya di Surakarta yang mana keluarganya tetap menuntut keadilan reparasi hingga sang istri meninggal dunia jaminan konstitusional pun tak kunjung datang.Â
Rangkaian kegagalan-kegagalan penyelesaian HAM berat masa lalu ini sebenarnya dapat dirunut kembali dari pengadilan HAM ad hoc yang berujung pembatalan UU KKR. Terutama pada putusan MK yang membatalkan UU KKR karena bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 itu sangat mengecewakan publik. Apalagi alasan pembatalannya bukan terletak pada wilayah konstitusional melainkan wilayah operasionalisasi hukum berkaitan dengan amnesti yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bagi saya putusan MK ini sangat paradoks dengan kehendak konstitusi sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 tentang kekuasaan kepresidenan.Â
Pertanyaan-pertanyaan problematis pun tak kuasa terbendung; apakah tekanan kekuatan politik pendukung Orde Baru sesuatu yang faktual, dan telah menyebabkan lemahnya kemauan politik penguasa baru untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu? Ataukah institusi dan aparatur penegak hukumnya yang tidak berdaya menegakkan kemanusiaan yang adil dan beradab?Â
Dari pertanyaan-pertanyaan yang problematis tersebut, saya yakin secara hipotetis MK tidak mengabulkan putusan UU KKR dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu itu, bukan karena ketidakmandirian MK terhadap pengaruh kekuatan politik Orde Baru yang masih eksis. Melainkan tentang penafsiran konstitusional yang dikaitkan dengan judicial review oleh MK itu kurang begitu menghormati HAM, padahal seiring dengan perkembangan manusia, khususnya dalam konteks kehidupan bernegara harusnya lebih memberikan pengakuan dan jaminan atas HAM.Â
Sebagaimana Saldi Isra, Wakil Ketua MK, menjelaskan hak  judicial review yang diberikan kepada MK jauh lebih penting untuk menjaga produk peraturan perundang-undangan agar tidak menyimpang dari UUD NRI Tahun 1945, atau supaya hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD NRI Tahun 1945 tetap terlindungi. Di sini menurut saya pembatalan UU KKR oleh MK belum berani keluar dari penjelasan pasal-pasal HAM yang dimuat dalam standar dan norma nasional. Padahal apabila MK mengabulkan putusan tersebut, saya yakin sebuah tonggak peradaban baru konstitusi dalam sejarah Indonesia akan memiliki implikasi-implikasi luas bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Mungkin begitu.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI