Masih berhubungan dengan tulisan saya yang berjudul Website dan LSM.
Â
Saat ini hampir 75% LSM lokal mendesain website secara in-house, atau dikerjakan oleh staff mereka sendiri yang mungkin masih coba-coba dalam membuat website, didonasikan oleh pihak ketiga atau bahkan menggunakan platform gratis seperti wordpress (dalam artian menggunakan domail berakhiran .wordpress.com). Ada juga yang meminta vendor tetapi dengan biaya semurah-murahnya tanpa memikirkan kesesuaian dengan lembaga mereka sendiri, menurut saya, seperti membuat baliho dan meminta orang percetakan mendesain
Saya tidak bermaksud menyalahkan hal tersebut, tetapi coba pikirkan. Website adalah representasi tampilan kita di dunia maya, apakah kita menyerahkan diri kita untuk didandani oleh orang yang kita bahkan tidak tahu mampu atau tidak orang tersebut berdandan.
Dalam lembaga nonprofit atau LSM, memang kita mengenal istilah "do more with less", jika kita bisa melakukan lebih banyak hal dengan menekan biaya, mengapa harus mengeluarkan banyak biaya.
Tetapi website bukanlah biaya tak berguna, bahkan sebaiknya dianggap sebagai investasi, mengambil istilah di dunia profit fokuslah pada Return-of-Investment, bukan pada biaya yang dikeluarkan ketika kita membuatnya (walaupun bukan berarti setelah membuat website kita mendapat uang atau program untuk dijalani begitu saja).
Ada perbedaan yang sangat besar jika kita menganggap hal tersebut adalah biaya dengan menganggap pembuatan website sebagai investasi. Bukan berarti membuat website harus dengan biaya tinggi untuk mendapatkan donasi/ program yang lebih besar agar menutupi hal tersebut. tetapi hasilnya adalah citra kita yang akan jauh lebih baik jika kita mau mengeluarkan biaya dan upaya lebih untuk membuat website ini.
Ada beberapa LSM yang mengeluarkan biaya besar untuk setup website mereka, pada akhirnya mereka mendapat donasi yang besar juga, project-project besar, karena mereka percaya bahwa tampilan mereka di dunia maya adalah sebuah investasi, banyak juga website yang saya lihat dengan biaya minim yang pada akhirnya hanyalah menjadi brosur digital yang terlupakan dan bahkan tidak disentuh oleh mereka sendiri dalam sisi pemutakhiran informasi dan malah tidak membantu lembaga tersebut untuk mendapatkan donasi.
Seperti HR suatu lembaga yang saat ini memulai untuk menilai kandidat staffnya melalui perilakunya di media sosial seperti facebook sebelum merekrutnya, banyak lembaga-lembaga besar juga melakukan penilaian lembaga yang akan dijadikan mitra melalui websitenya.
Â
Â