Semua orang memiliki hak untuk bersuara dan memilih sesuai dengan hati nuraninya. Mencela pilihan orang lain dan merasa pilihannya yang paling baik adalah suatu hal yang bertentangan dengan kebebasan dan kemerdekaan tiap orang. Sekuat apapun argumen yang ingin dipertegas, jika memang hati orang tersebut tidak selaras maka pilihan tersebut tetap tidak bisa dipaksakan.
Seperti yang kita ketahui, bahwa tahun 2024 merupakan tahun politik yang sangat panas. Tidak sedikit hubungan yang terpecah belah akibat perbedaan pilihan dalam memilih calon pemimpin negara. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 30/1999 Pasal 43 Hak Asasi Manusia (HAM) mengenai hak memilih.
“Setiap warga mendapatkan hak pilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Memaksakan pilihan kepada orang lain juga berarti menentang asas pemilu demokratis yang “bebas”, bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih tanpa adanya paksaan atau tekanan dari orang lain. Akan tetapi, nyatanya masih banyak keributan yang timbul akibat perbedaan pendapat antarkelompok.
Ketika membahas soal pemilihan kepala negara, tentunya bukan hal yang dapat diselesaikan dalam sekali duduk. Sudut pandang orang yang berbeda-beda dipengaruhi oleh berbagai macam aspek yang memang harus dikaji lagi secara lebih mendalam. Kita tidak bisa hanya mengandalkan pandangan salah satu kelompok dan menganggap sudut pandang yang lain salah.
Menyoal tentang pemilihan umum, tentunya harus diikuti dengan pikiran terbuka. Pilihan yang berbeda dapat disebabkan oleh perbedaan kebutuhan dan cara berpikir orang yang tidak semuanya sama. Bisa saja hal yang menurut kita baik, tetapi bagi orang lain buruk.
Di tahun pemilu ini, tak jarang kita menemukan kalimat yang berseliweran seperti pemilu bukanlah untuk memilih yang terbaik, tetapi mencegah yang buruk berkuasa. Pernyataan tersebut tidak bisa dinilai salah karena memang pemimpin negara haruslah sosok yang memiliki integritas tinggi.
Di sisi lain, pernyataan tersebut dapat dinilai sebagai tameng atau sekadar wadah pembelaan bagi kelompok yang merasa paling benar. Pernyataan tersebut memang menyiratkan makna merendahkan karena seakan-akan pilihan kelompoknya saja yang paling baik, tetapi menilai pilihan kelompok lain salah. Kembali lagi, kelompok yang merasa paling benar tersebut seakan tidak mengaca dan kembali menoleh pada pilihan yang diambilnya.
Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semua pilihan pasti memiliki konsekuensi masing-masing dan apa yang akan terjadi beberapa tahun ke depan merupakan hasil pilihan kita di masa sekarang. Jika apa yang terjadi dalam proses implementasinya kurang maksimal, kita pun tak dapat langsung mengatakan bahwa kita salah memilih sosok pemimpin. Perlu dilakukan pengkajian secara cermat untuk membahas permasalahan tersebut dan turut mencari solusi, bukan malah mencaci maki.
Pada hakikatnya, manusia memang diciptakan berbeda-beda dan perbedaan tersebut adalah hal yang wajar. Namun demikian, hal tersebut tergantung lagi pada sikap kita sebagai warga negara yang bijak untuk dapat mengembangkan sikap tenggang rasa agar terciptanya hubungan saling menghargai antarsesama.
Oleh karena itu, menghormati pilihan tiap individu sangatlah penting. Seperti kita yang hidup di negara multikultural di mana perbedaan bukanlah hal yang menjadi penghambat persatuan, tetapi malah menjadi sebuah kekuatan yang membuat solidaritas kita semakin kuat.