Budaya patriarki telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat di Indonesia. Dalam patriarki, dominasi dan kontrol biasanya dipegang oleh laki-laki dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini menyebabkan peran gender menjadi sangat kaku dan terbatas, dengan perempuan sering kali dianggap sebagai makhluk yang lemah dan harus tunduk pada kehendak laki-laki. Dengan rendahnya tingkat kesetaraan gender, memunculkan banyak stereotipe dan stigma buruk yang tidak jarang merugikan kaum perempuan.
Menurut Badan Program Pembangunan PBB (UNDP), kesetaraan gender Indonesia berada pada peringkat 103 dari 162 negara atau terendah ketiga se- ASEAN. Kesetaraan gender yang rendah tersebut dapat menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual yang berdampak besar terutama terhadap kaum perempuan.Â
Kondisi ini terjadi akibat adanya pandangan yang merendahkan perempuan dan memperlakukan mereka sebagai objek yang lemah dan tidak berharga. Hal ini menyebabkan banyak perempuan menjadi korban kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual, pemerkosaan, dan eksploitasi seksual.
Selain itu, berdasarkan Asian Pacific Institute on Gender-Based Violence (API-GBV), sudut pandang yang menilai laki-laki, dominasi heteroseksual, dan devaluasi perempuan merupakan akar dari kekerasan berbasis gender, khususnya terhadap perempuan. Hal tersebut diperkuat dengan Catatan Tahunan 2022 (CATAHU 2022) Komnas Perempuan, kasus kekerasan berbasis gender mencapai 338.496 kasus pada tahun 2021. Jumlah ini merupakan peningkatan sebesar 49.7% dari angka 226.062 kasus pada tahun 2020.
Dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi, akhirnya muncul sebuah gerakan feminis seperti feminisme radikal sebagai respon untuk memperjuangkan kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Feminisme tersebut menekankan pada pembebasan perempuan dari segala bentuk penindasan dan diskriminasi, termasuk dalam hierarki gender yang ada dalam masyarakat.Â
Sayangnya, gerakan ini kerap kali dianggap kontroversial karena pendekatannya yang ekstrem dan tidak kompromi. Pendukung feminisme radikal cenderung memandang segala hal dari perspektif yang sangat keras dan absolut, tanpa memberikan ruang bagi perbedaan pendapat atau dialog yang konstruktif.
Selain itu, gerakan feminisme radikal terlalu fokus pada aspek-aspek tertentu dalam isu gender dan kekerasan terhadap perempuan, tanpa mempertimbangkan kompleksitas dan keragaman pengalaman perempuan. Hal ini dapat menyebabkan eksklusi terhadap perempuan dengan latar belakang yang berbeda. Pendekatan radikal dalam gerakan feminisme ini juga dapat memberikan kesan menakutkan dan menyingkirkan potensi dari pihak lain yang sebenarnya dapat menjadi sekutu dalam advokasi kesetaraan gender.
Oleh karena itu, perlu adanya rekonstruksi sebagai upaya penting untuk mengubah pola pikir budaya patriarki dan feminisme radikal serta memperjuangkan kesetaraan gender dalam rangka mencapai emansipasi kaum perempuan yang lebih tepat.Â
Emansipasi adalah gerakan penting yang bertujuan untuk memberikan hak yang sama kepada perempuan seperti halnya laki-laki. Rekonstruksi hierarki gender perlu dilakukan secara menyeluruh dan komprehensif yang melibatkan perubahan dalam pola pikir masyarakat, struktur sosial, dan sistem kekuasaan yang berhubungan dengan gender.
Untuk mencapai kesetaraan gender yang tepat, diperlukan kolaborasi dan dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, maupun masyarakat umum dengan menghapus pola pikir radikal, liberal, maupun yang berbau marxis-sosialis. Langkah-langkah konkret seperti advokasi hak-hak perempuan, kampanye kesetaraan gender, dan pendidikan kesetaraan gender menjadi bagian dari upaya rekonstruksi tersebut.Â
Kesetaraan gender bukan hanya menjadi tanggung jawab kaum perempuan saja, namun seluruh anggota masyarakat juga menjadi kunci dalam upaya rekonstruksi hierarki gender. Rekonstruksi ini merupakan langkah yang penting untuk mencapai emansipasi perempuan juga sebagai pelurusan pemahaman feminisme radikal yang bertolak paham dengan budaya patriarki.Â