Saat ini transportasi online telah menjadi transportasi umum yang banyak diminati masyarakat Indonesia. Di Indonesia, transportasi online sudah ada sejak tahun 2014. Pada saat itu transportasi online di Indonesia dipelopori oleh Uber. Dan pada tahun 2016, Uber disusul oleh GrabTaxi dan GO-JEK. GO-JEK sendiri sebenarnya sudah dibangun sejak tahun 2010.Â
Kembali ke topik transportasi online, pada tahun 2015 transportasi online masih hanya tersedia transportasi motor dan taxi, namun sekarang sudah banyak variasi-variasi baru dalam aplikasi transportasi online. Variasi-variasi baru tersebut contohnya seperti GO-FOOD, GrabFood, GO-SEND, GrabExpress, dll. Semenjak adanya variasi-variasi baru ini, semakin banyak masyarakat yang menggunakan aplikasi transportasi online.
Akhir-akhr ini banyak bermunculan pendapat pro dan kontra mengenai transportasi online. Apalagi baru-baru ini terjadi kenaikan harga BBM yang merugikan banyak masyarakat, salah satunya yaitu driver transportasi online. Kenaikan harga BBM ini membuat driver transportasi online merasa pemasukan mereka tidak sepadan dengan pengeluaran mereka.Â
Bahkan Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, mengatakan bahwa transpotasi online adalah bisnis yang gagal dalam mensejahterakan para driver transportasi online. Namun, hal ini tidak terlepas dari kegagalan negara dalam mengawasi perusahaan angkutan online atau aplikator yang kerap kali melanggar hukum.Â
Lily menilai, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022 yang mengatur kenaikan tarif seperti macan ompong. Karena aplikator melanggar aturan maksimal potongan yang ditetapkan 15 persen. Hingga hari ini aplikator secara sepihak melakukan potongan mulai dari 20 persen hingga hampir 40 persen.Â
Selain itu, kata dia, aturan itu hanya mengatur tarif dan potongan aplikator bagi layanan antar penumpang, tidak untuk barang dan makanan. Layanan antar barang dan makanan masih diserahkan kepada mekanisme harga pasar dan ditentukan sepihak oleh aplikator.Â
Oleh karena itu, SPAI mendesak Presiden Joko Widodo alias Jokowi untuk turun tangan dan memerintahkan para pembantunya untuk menetapkan pengemudi angkutan online sebagai Pekerja Tetap (bukan Mitra) sesuai UU Ketenagakerjaan. Pasalnya, selama ini aplikator tidak memenuhi hak-hak pekerja.
Diketahui saat ini pendapatan rata-rata driver transportasi onine di bawah Rp 3,5 juta per bulan. Angka itu bisa dihasilkan dengan lama kerja 8 -12 jam sehari, selama 30 hari kerja tanpa adanya hari libur selayaknya mengacu aturan Kementerian Ketenagakerjaan.Â
Angka tersebut tidak sesuai dengan janji aplikator pada 2016 yang menjanjikan mencapai Rp 8 juta per bulan. Sehingga saat ini sulit menjadikan profesi driver transportasi online menjadi sandaran hidup, karena aplikator tidak membatasi jumlah pengemudi, yang menyebabkan ketidakseimbangan supply dan demand.
Driver transportasi online pun merasa setuju dengan pernyataan-pernyataan di atas. Saat ini pendapatan driver terus turun. Menurut Wiwit penyebab terbesar dari penurunan pendapatan adalah tidak dibatasinya jumlah driver transportasi online, permintaan dan penawaran sistem transportasi online pun tidak dijaga oleh aplikator. Aplikator saat ini hanya memikirkan keuntungan semata dari semakin banyak pelanggan yang men-download aplikasi transportasi online.
Faktor lain yang membuat transportasi online dianggap sebagai bisnis yang gagal yaitu karena besarnya tarif ojol akibat biaya jasa sewa aplikasi yang berkisar Rp 4.000-an yang harus dibayarkan oleh penumpang.Â