Mohon tunggu...
adhinanto cahyono
adhinanto cahyono Mohon Tunggu... -

To learn how to write, is like to learn how to live..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lebih Baik Hujan Batu di Negeri Sendiri? Yakin?

16 September 2010   06:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:12 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehadiran anak, bagi sebagian besar orang (saya menggunakan kata ‘sebagian besar’ instead of ‘semua’, karena saya masih tetap yakin ada beberapa orang yang memiliki pendapat berbeda tentang hal ini) adalah merupakan kegembiraan tersendiri yang tidak dapat digantikan nilainya dengan apa pun. Jadi adalah wajar, apabila setelah Anda memiliki anak, maka ucapan selamat pun berdatangan dari delapan arah penjuru mata angin.

Sama seperti halnya yang saya alami dengan kelahiran putri pertama saya, berbagai ucapan selamat pun berdatangan dan saya reply dengan kata-kata standar, “Thanks, mudah-mudahan good wishes dari kalian semua terkabul,” Namun, saya agak terkesiap ketika salah seorang kerabat saya yang tinggal di Amerika memberikan ucapan selamat dengan content, “Selamet yeee, mudah-mudahan besok-besok cepet nambah lagi..”

Nambah lagi?

Langsung saya me-reply-nya dengan kata-kata yang cukup ‘analitikal’ dan agak ‘mengkritisasi’ prinsip ‘anak membawa rejekinya masing-masing’. Hehehehe, bukannya saya tidak percaya prinsip tentang anak dan rejeki, justru sebaliknya, saya sangat percaya sekali. Tapi, saya rasa, Tuhan pun juga tidak melarang kalau kita mau membuat perhitungan secara ekonomis terlebih dahulu sebelum menghadirkan anak ke dunia ini, toh itu semua juga demi kebaikan anak yang bersangkutan. So, singkatnya saya me-reply ucapannya dengan, “He? Ntar dulu deh yee.. Ongkos sekolah mahal banget bo di Indonesia.”

That’s the fact, bahwa biaya pendidikan sekolah di Indonesia itu memang benar-benarmahal. Yang saya ingat, ketika saya masuk kuliah, 20 tahun yang lalu, uang pangkal yang saya harus bayarkan adalah Rp500.000, dengan perbandingan harga bensin Premium yang seliter-nya masih Rp800. Dan, sekarang ini, saya dengar bahwa uang pangkal masuk ke Universitas almamater saya melalui jalur UMPT (jalur umum, dan bukan jalur khusus, jadi ini biayanya juga sudah seminimal mungkin) adalah Rp10.000.000, dengan perbandingan harga bensin Premium yang seliter-nya mencapai Rp4500!

Bukan hanya kuliah loh, tapi masuk TK, SD dan SMP pun juga telah sampai kepada tahap horror sekali! Untuk masuk ke tiga level pendidikan di atas dalam skala sekolah unggulan atau kualitas A dan B, maka Anda setidaknya harus rela untuk merogoh kocek uang pangkal dalam bilangan Rp5-10 juta ke atas. Itu juga belum termasuk uang bulanan yang minimal 1-2 juta sebulan, dan juga biaya-biaya buku, seragam, transport, les tambahan.. arrrrrrrrrrrrgggggggggghhhhhh!!!!!!

Dan, kerabat saya itu memang sepertinya sengaja untuk mendiskreditkan negeri ini. Maklum, dia adalah imigran ilegal, kalau saya boleh menyebutnya seperti itu. Visa yang dipakai untuk ke Amerika adalah visa turis (yang sudah kadaluarsa 10 tahun yang lalu), meskipun niatnya adalah untuk melakoni pekerjaan apa pun di Amerika, dan tidak berniat untuk kembali ke Indonesia, dan sekarang dia telah menikah dengan citizen Amerika keturunan Mexico. Menurutnya pada waktu ia ‘kabur’, Indonesia sudah tidak memiliki harapan lagi, mencari pekerjaan susah, dan kalau pun pekerjaan itu didapat, penghasilan yang diperolehnya memang tidak layak untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin hari semakin tinggi. Sehingga, nggak heran kalau jawabannya kepada saya adalah, “Weiz, sorry, gue gak perlu itu mikir-mikir biaya-biaya sekolah. Semuanya ditanggung pemerintah Amerika! Sampe SMA! Even untuk sarapan pagi dan makan siang anak gue di sekolah pun gue gak perlu bayar!”

Karena jengkel, saya sempat membela diri saya sendiri dalam hati (males deh ribut-ribut sama orang yang udah antipati sama negeri sendiri, hehehehe), “Ah, itu kan pasti sekolahnya sekolah gak jelas, Bronx, bukan yang bermutu OK. Dan, yakin tuh dari jenis-jenis sekolah kayak gitu, anak lo bisa lanjut ke Universitas?” Hehehehe.. jahat gak sih saya?

Tapi lama-lama saya renungkan lagi, dan saya terdiam. OK, sekarang kalau di Indonesia, untuk sekolah-sekolah yang (maaf) boleh kita katakan bobrok, apakah biayanya full gratis seperti di Amerika? Jelas tidak! Sepengetahuan saya. Di dekat rumah saya (area berjarak 2-3 km dari rumah saya) terdapat SMU negeri yang nama bilangannya sudah 3 digit (SMUN XXX), gedungnya dekil, reyot bahkan anak-anak sekolahnya pun sering masuk kelas dengan cara berpakaian yang sangat tidak intelektual sekali. Selidik punya selidik, untuk masuk ke SMU yang ‘tidak favorit’ seperti itu pun, Anda tetap harus merogoh kocek 1 juta! Uang bulanan yang harus dibayarkan bervariasi, antara Rp50.000 s.d. Rp100.000!

Oh, God..

Melalui berbagai info di media, terkuaklah fakta bahwa hutang pemerintah Amerika sebenarnya juga fantastis dan dahsyat! Justru kalau dihitung dari persentase PDB negara, kedahsyatan hutang Indonesia itu masih kalah jauh dengan Amerika. Walau pun demikian, andai fakta ini saya beberkan ke kerabat saya yang sudah ‘American Minded’ itu, saya tetap akan kalah dalam beradu argumentasi dengannya. Hutang Amerika yang fantastis itu benar-benar dinikmati oleh rakyatnya. Contoh kecilnya, ya kerabat saya itu, dia tidak perlu berpikir susah payah untuk biaya sekolah anak-anaknya. Sementara saya? Sudah negara saya berhutang sedemikian banyaknya, lha lucunya saya tetep juga pontang-panting menggali seluruh harta karun pribadi saya untuk biaya pendidikan anak, andai pun saya berniat untuk menyekolahkannya di sekolah yang paling tidak favorit sekali pun! Lha terus itu uang hutang negara dipakai buat apa saja sih?

Sewaktu saya bercerita tentang hal ini kepada Ibu saya, Ibu saya membesarkan hati saya, “Yaah, gimana-gimana juga lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang..” Waduh Mam, memang benar, bahwa manusia tidak hanya hidup dari emas semata. Tapi rasanya, kalau dapet-nya batu, hidup juga akan jelas semakin merana deh..

Ya, tapi sayangnya baru batu itu ya yang kita punya.. capee deeee.. :P

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun