Mohon tunggu...
adhinanto cahyono
adhinanto cahyono Mohon Tunggu... -

To learn how to write, is like to learn how to live..

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Redenominasi Rupiah: There Can be Miracles, When You Believe..

17 September 2010   03:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:11 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lagi-lagi nih, karena bidang pekerjaan saya erat hubungannya dengan bidang bisnis, manajemen dan ekonomi, hampir sebagian besar kenalan atau kerabat yang bertemu saya dalam 1 (satu) bulan belakangan ini (termasuk pada saat silaturahmi Lebaran), bertanya kepada saya mengenai istilah horror (saya katakan horror karena mereka bertanya seakan-akan istilah itu merupakan ancaman seperti virus HIV) “Redenominasi”. Dokter gigi saya, dalam setiap kunjungan saya selalu bertanya, “Sebenarnya menurut you negara kita itu pantes nggak untuk mulai ber-redenominasi?” Atau pertanyaan salah satu kerabat saya, “Redenominasi itu apa emang sengaja dihembuskan biar orang pada lupa sama kasus Century ya?" Saya sempet bengong dengan analisisnya yang kok jauh bener, walo saya sempet ragu, jangan-jangan iya ya, soalnya begitu masalah redenominasi mengemuka, langsung deh masalah Century ‘terlupakan’. Teman saya bahkan lebih ekstrim lagi, “BI itu udah kurang kerjaan banget ya pake ngusulin Redenominasi segala? Udah deh, daripada begitu, mending orang-orang BI itu disuruh bantuin gue aja di kantor. Kerjaan gue banyak nih.” Sedemikian takutnya publik terhadap redenominasi. Kalau saja redenominasi ini dijadikan film horror/thriller, rasanya film-film Stephen King lewat dah.. Sesuai dengan informasi yang dipublikasikan oleh BI, redenominasi ini adalah penyederhanaan digit mata uang, yang juga dibarengi oleh penyederhanaan digit harga-harga barang. Jadi misalnya, harga sepaket McDonalds Rp20.000, nanti akan di-redenominasi menjadi Rp20 (tiga nol dibelakangnya dihilangkan), dan BI akan mencetak uang Rp20 sebagai pengganti Rp20.000. Sebenarnya ide ini cukup sederhana dan tidak terdengar menakutkan, karena dimaksudkan agar digit mata uang negara juga kompetitif dibandingkan dengan mata uang asing yang kuat (impresi yang berbeda, harga sepaket McD di US adalah USD5 dan di Indonesia Rp20.000, dengan komparasi bila harga sepaket McD di US adalah USD5 dan di Indonesia Rp20). Namun, pengalaman buruk yang dialami oleh Indonesia memang membawa kesan tersendiri bagi beberapa generasi lama (yang umumnya lahir sebelum atau dalam kurun waktu 1 s.d 5 tahun setelah kemerdekaan Indonesia). Ambil saja contoh Dokter Gigi saya yang umurnya seangkatan Ibu saya. Dia kembali mengenang masa-masa tahun 1960-an, “Apa jangan-jangan redenominasi itu hanya untuk menyamarkan ‘sanering’ seperti tahun 1960 ya? Waktu itu uang dipotong, menjadi tidak bernilai, sementara harga barang-barang tidak berubah (misalnya sepaket McD tetap berharga Rp20.000, sementara uang yang Anda miliki dari Rp20.000 dipotong nilainya menjadi Rp20, sehingga daya beli masyarakat menurun).” Saya meyakinkannya berulang kali bahwa konsep redenominasi bukan seperti itu. Harga barang dan nilai uang sama-sama dipangkas nominal nilainya. Ini hanya masalah nominal saja, bukan masalah nilai barang itu sendiri.

Yang semula saya tidak terlalu perduli dengan urusan redenominasi ini, akhirnya saja jadi menerabas ke beberapa koleksi jurnal dan penelitian ilmiah dalam bidang ekonomi untuk kategori currency values and redenomination. Dari jurnal tersebut diketahui, bahwa beberapa negara yang berencana meredenominasi mata uangnya ini rata-rata membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk finalisasi kebijakannya. Dan, negara-negara yang melakukannya, ya, negara-negara dengan mata uang yang tidak terapresiasi secara internasional (istilahnya, mata uang negaranya nggak diminati atau nggak banyak fans-nya, hehehe, bukan seperti USD, GBP atau Euro yang fans-nya berjibun tersebar di muka bumi ini). Hasil penelitian membuktikan, ada negara yang sukses beredenominasi, dan ada juga yang gagal. Kegagalan tersebut terutama sekali disebabkan karena ketidakpercayaan warga negara kepada negara/pemerintah yang meredenominasi mata uangnya. Di Rusia misalnya, publik merasa pemerintah seperti merampok kekayaan rakyat dengan meredenominasi mata uangnya, sehingga setelah diredenominasi, inflasi pun tetap tinggi di negara itu. Hal serupa juga terjadi di Zimbabwe, Argentina dan Brasil. Korea Utara justru lebih tragis lagi dengan proyek redenominasinya, karena ternyata warga tidak bisa menukarkan stok uang Won (mata uang Korea Utara) lama menjadi Won baru yang telah disederhanakan digit-nya karena berbagai alasan yang tampaknya ‘disengaja’ oleh pemerintah untuk mengatasi inflasi (dengan cara otoriteristik yang cukup memaksa). Bagaimana halnya dengan Indonesia? Sepertinya sih, dari reaksi yang saya dapatkan selama ini mengenai redenominasi di negara kita, rasanya kepercayaan publik terhadap pemerintah Indonesia masih nol. Publik masih menganggap bahwa proyek redenominasi ini bukan sekedar menyederhanakan digit mata uang, namun lebih ke arah strategi politik dan ‘membungkus sesuatu’. Sebenarnya agak berbahaya juga untuk melaksanakan redenominasi di tengah-tengah ketidakpercayaan publik. Anda bisa bayangkan? Publik yang panik akan buru-buru menghabiskan uang yang dipegangnya dalam bentuk berbagai barang dan komoditi, sehingga inflasi malah bisa lebih membumbung lebih tinggi. Atau misalnya mereka malah menukarkan uang lokal ke mata uang asing, melarikannya ke luar negeri, dan menimbulkan krisis valuta asing kemudian. Dalam pemikiran yang tulus, saya percaya niat baik pemerintah dalam redenominasi ini adalah untuk membuat posisi mata uang kita lebih bergengsi di mata dunia (sekaligus menghemat tenaga kasir di Bank mau pun di BI untuk menghitung lembaran-lembaran uang Rupiah kita, barangkali, hehehehe). Alangkah indahnya bila nilai USD1 = Rp9 misalnya dan bukan Rp9000. Namun, perlu dicermati juga bahwa permasalahan ini tidak akan selesai begitu saja bila dihadapkan pada satu benda penting bernama ‘ketidakpercayaan’. Ketidakpercayaan publik terhadap kinerja pemerintah akan dapat melonjakkan inflasi (kenaikan harga barang karena kelangkaan stok di pasar akibat paranoia publik dalam perilaku pembelanjaannya), dan bukan tidak mungkin, hasil dari redenominasi yang memangkas tiga digit, justru malah akan menimbulkan tiga digit baru (balik ke posisi semula) dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama dan tidak terduga sebelumnya. There can be miracles, when you believe.. The question is, do you believe? Ask about this to yourself, not to Mariah Carey or Withney Houston.. :P Salam..

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun