Mohon tunggu...
adhinanto cahyono
adhinanto cahyono Mohon Tunggu... -

To learn how to write, is like to learn how to live..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tentang OJK: Kesan Pertama Begitu Menggoda.. Selanjutnya?

29 Juni 2010   03:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:13 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesan pertama? Maksudnya? Ide tentang OJK ini pertama kali muncul di era pemerintahan BJ Habibie, yang ketika itu memberikan status independen kepada Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral Indonesia, sesuai dengan ide konsultan ekonomi yang disewa beliau dari Jerman pada saat itu. Ide ini juga memberikan konsekuensi untuk memangkas kewenangan BI di dalam melakukan fungsi pengawasan perbankan untuk diberikan kepada OJK, dengan maksud agar BI lebih independen dalam bergerak di sektor moneter tanpa dipengaruhi oleh hal-hal subyektif yang mungkin muncul dari aktivitas pengawasan perbankan. Singkat kata, OJK adalah gagasan untuk menciptakan pengawasan bank dengan kondisi yang mendekati ideal. Hmm.. bukankah kesan pertama dari OJK itu terasa begitu menggoda? Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini perbankan berkembang menjadi suatu bisnis yang terkadang cukup sulit untuk dipisahkan dengan bisnis keuangan non-perbankan lainnya. Suatu Bank bisa saja memasarkan produk Asuransi yang disisipkan melalui produk perbankan (bancassurance), sekaligus memiliki anak perusahaan yang bergerak di bidang sekuritas/investasi. Beberapa pihak berpendapat bahwa pengawasan bisnis bank oleh BI, pengawasan bisnis sekuritas oleh Bapepam, dan pengawasan bisnis asuransi oleh DJLK (Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan) seharusnya lebih efektif bila dilakukan oleh satu institusi saja dan tidak dilakukan secara terpisah. Hmm.. bukankah kesan pertama dari OJK itu terasa semakin menggoda? Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah strategi pengawasan perbankan yang seyogyanya dilakukan oleh lembaga lain terpisah dari Bank Sentral tersebut sudah tepat untuk diterapkan di Indonesia?

Skandal Bank Century yang penuh dengan misteri (yang tidak kalah seru bila dibandingkan dengan cerita-cerita misteri versi Agatha Christie) menjadi tudingan dari beberapa pihak (baik yang idealis, utopis, mau pun yang bersifat sarkatis dan oportunis) untuk segera menyingkirkan fungsi pengawasan perbankan dari BI. Mereka beranggapan bahwa fungsi pengawasan perbankan akan lebih obyektif dan dapat dikelola dengan good governance bila dilakukan oleh pihak lain selain bank sentral. Benarkah demikian? Walau frekuensi terjadinya belumlah tergolong signifikan, pemisahan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral kepada FSA (Financial Services Agency, semacam OJK di Jepang) masih menyisakan kasus kebangkrutan Long-Term Credit Bank dan Nippon Credit Bank di Jepang yang di kemudian hari terbukti merekayasa pembukuannya (The Economist, 30 August 2003). Selain itu, bila mengamati posisi laporan rugi-laba dalam laporan keuangan beberapa bank umum di Indonesia, umumnya porsi pendapatan bank yang berasal dari penanaman di SBI (Sertifikat Bank Indonesia, perangkat finansial yang digunakan untuk fungsi stabilitas moneter) masih memiliki porsi yang equal bahkan lebih besar dari porsi pendapatan yang berasal dari operasional bank itu sendiri (baik dari penyaluran kredit mau pun jasa-jasa perbankan lainnya). Hal ini menunjukkan bahwa kontrol BI secara langsung kepada bank-bank tersebut masih diperlukan agar SBI tidak disalahgunakan oleh bisnis perbankan sebagai perangkat yang profitabel.
Lagipula, berkaca kepada kondisi ekonomi negara kita yang masih memerlukan dana untuk membangun sarana dan prasarana secara merata demi kemakmuran rakyat dan meminimalisasi tingkat kemiskinan nasional, anggaran dana berjumlah besar yang akan digunakan untuk membentuk OJK menjadi suatu issue tersendiri yang patut dicermati melalui analisis cost-benefit dengan berbagai asumsi yang rasional. Sebagai informasi, menurut berita yang dilansir Detik Finance (2 Februari 2010) terdapat wacana bahwa DPR bermaksud untuk mengadakan studi banding ke luar negeri demi mempelajari hal-ikhwal OJK ini dalam kurun waktu kurang lebih selama 3 (tiga) bulan. Mudah-mudahan proyek studi banding OJK yang direncanakan ini benar-benar berbeda dengan proyek Phileas Fogg dalam novel Jules Verne, “Around the World in 80 Days”. Jadi, setelah membaca beberapa kritisasi mengenai OJK yang telah uraikan dalam tulisan ini, apakah sebaiknya langkah pembentukan OJK di Indonesia tetap dilakukan? Ataukah sebaiknya dihentikan dan mengubah/mengamandemen Undang-Undang (UU) yang berlaku (UU BI No. 3 tahun 2004, yang mengamanatkan pembentukan OJK selambat-lambatnya pada akhir tahun 2010)? Menurut pendapat saya pribadi, bagaimana pun juga ide pemisahan fungsi pengawasan tersebut cukup ideal dan menarik untuk dilakukan. Kita tidak akan pernah bisa menerka mengenai keandalan ide tersebut tanpa pernah mencobanya. Saya adalah termasuk segelintir pribadi yang ingin melakukan eksperimen untuk mencoba sistem pengawasan perbankan di bawah OJK, termasuk juga untuk memuaskan rasa dahaga berbagai kritikus BI yang berulang kali (melebihi frekuensi adzan sholat lima waktu per hari sepertinya) mengumandangkan kebrobokan pengawasan bank oleh BI (yang tidak sepenuhnya selalu benar). Tentunya, bila terjadi pemindahan pengawasan bank dari BI kepada OJK, maka terdapat beberapa hal berikut yang harus diperhatikan: Pertama, OJK tetap harus memberikan kesempatan kepada BI untuk tetap dapat mengakses informasi pengawasan bank agar BI tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai lender of the last resort. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Paul Volker (mantan chairman dari Federal Reserve US), kebijakan moneter tidak dapat dilakukan dengan baik apabila bank sentral kehilangan perannya dalam mengawasi sektor perbankan. Kedua, Komposisi kepegawaian OJK seyogyanya menyertakan sebagian pegawai BI yang berasal dari sektor pengawasan perbankan sebelumnya. Mengingat bahwa OJK ini pasti akan dipenuhi dengan nuansa politis yang kental, maka BI harus memikirkan kemungkinan untuk melakukan program exit policy yang sangat solutif bagi para karyawannya bila OJK tidak memberikan kesempatan kepada pegawai BI untuk bergabung didalamnya. Andai toh ternyata OJK tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan, anggaplah kegagalan tersebut sebagai cost dari pelajaran yang sangat berharga (learning by trial and error) untuk kemudian mengembalikan fungsi pengawasan perbankan tersebut kepada BI (dan boleh juga sekali atau dua kali kita mengatakan kepada para penggagas OJK, “See, what have I told you?”). Kesan pertama memang begitu menggoda, namun selanjutnya tetap terserah Anda.. Salam..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun