Mohon tunggu...
Adhimas AlifianYuwono
Adhimas AlifianYuwono Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta, Pendidikan Agama Islam

Penulis, Tekun Di Bidang Pemikiran Islam

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Menziarahi Idul Fitri

21 April 2023   10:37 Diperbarui: 21 April 2023   10:42 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Idul Fitri menjadi momentum keilahian yang secara niscaya melaharikan rasa gembira dalam relung hati setiap umat muslim dengan perasaan yang tak mampu dilukiskan. Ia menjelma getaran rasa yang lembut, merasuk ke dalam jiwa-jiwa suci, mengibas rala dan derita, yang kesemuanya akhirnya termanifestasi dalam kalimat: Allahu akbar, walillah ilham.

Umat Islam yang sebelumnya menggelar perang akbar melawan hawa nafsu yang berpotensi besar merusak kesucian hati selama bulan Ramadhan. Lewat sabda suci Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, dari Abu Hurairah r.a, jika tiba bulan Ramadhan, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan para setan dibelenggu. Redaksi dalam hadist memanglah berbunyi "sulsilatisy-syayathin", ini seolah menegaskan tentang diksi “dibelenggu” bukan “disekap”, “dipenjara”, atau pun “ditawan” misalnya. Perenungan oleh sebagian ulama secara majazi, bahwa pembelengguan itu diindikasikan melalui banyaknya ketaatan yang dilakoni oleh mayoritas umat muslim yang pada sebelumnya gemar menuruti hawa nafsunya. Di bulan Ramadhan, ketaatan cenderung lebih dominan, maka secara klausalitas, keburukan akan menjadi kecil, inferior. Inilah wujud nyata dari pembelengguan setan itu.

Betapapun sesungguhnya mata kelu kita tak mampu menampak pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka, dalam bulan Ramadhan kita bisa merasakan perbedaan suasana hari-hari di dalamnya. suasana istimewa yang tidak dapat dirasakan pada hari-hari di bulan lainnya. Kita jadi sering bertemu antar sesama, dengan keluarga, dan kita seolah punya lebih banyak waktu untuk bertemu dengan diri sendiri, dalam situasi khas yang sangat sulit dilukiskan. Situasi yang menurut K.H Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dapat menuntun manusia menjadi shaleh ritual sekaligus shaleh sosial.

Pada bulan yang dipenuhi berkah tersebut, suasana di luar dan utamanya di dalam diri kita – suasana batin kita – rasanya sangat mendukung peningkatan mutu keimanan, keberagamaan, dan kemanusiaan kita. Kita dapat lebih mendekatkan diri kepada Al-Khaliq Yang Maha Pengasih.

Pada bulan penuh ampunan itu, kesempatan terbuka luas bagi kita untuk melihat lebih jeli kepada diri kita sendiri. Mengoreksi segala kekurangan, menambal segenap kekhilafan, membuang sifat-sifat tercela, dan menoreh prestasi ilahi dengan beribadah yang berlandaskan keihklasan hati, kesucian nurani, dan kebersihan jasmani.

Kalau kita tarik dalam terminologi tasawuf, ada metode pembersihan diri yang oleh para sufi telah dirumuskan untuk mencapai kelezatan keberTuhanan (Dzauq) yang paripurna, yakni dengan mengawalinya melalui takhalli, adalah pembersihan diri dari seluruh perbuatan tercela, pengurasan di dalam ceruk-ceruk hati dari kerak-kerak dosa akibat keburukan yang pernah diperbuat. Kemudian dilanjutkan pada tahapan tahalli, adalah proses menghiasi diri melalui perilaku terpuji, panjatan zikir, dan serangkaian agenda ibadah mahdoh maupun ghoiru mahdoh secara lebih optimal. Hingga pada tahapan terkahir, yaitu tajalli adalah prosesi penyingkapan keilahian dari segala apapun yang menghijabnya (khasyaf) yang dengannya manusia menjadi memiliki kedakatan erat dengan Tuhan. Dan Bulan Ramadhan telah memfasilitasi dengan baik segala upaya pembersihan diri tersebut.

Pendek kata, serangkaian ikhtiar yang telah dilakukan selama bulan Ramadhan, adalah bertujuan untuk menjadikan kita menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang oleh Fahruddin Faiz (sang filosof milenial itu) memiliki keistimewaan dengan status mukhayyar, makhluk yang diberi kehendak memilih. Dan beruntunglah bagi mereka yang menjadikan bulan Ramadhan untuk momentum perbaikan diri, sebagai keputusan atas pilihannya.

Hingga pada akhirnya, Allah menganugerahkan kepada manusia dengan pemberian hadiah spiritual berupa momentum Idul Fitri. Hari raya dimana manusia diwisuda karena telah lulus menjalani pembersihan diri: segala dosa diampuni, segenap khilaf terhapuskan, seluruh salah dimaafkan. Di hari itu, manusia saling bekerja sama untuk menggugurkan dosa dengan saling bersilaturahim serta memaafkan antar sesama, keluarga, kerabat dan para sahabat. Di negeri kita, beragam tradisi dan kebudayaan yang sungguh meriah sekali diupacarakan demi menunjang keberhasilan dalam menggugurkan dosa-dosa itu.

Hari dimana manusia kembali terlahir, ia tanpa dosa, kembali suci sebagaimana ketika lahir pertama kali di muka bumi. Sebab memanglah manusia adalah suci pada asalnya. Telah digambarkan oleh Ibn ‘Arabi – sang sufi kenamaan itu – bahwa manusia adalah tujuan penciptaan alam raya ini. Pada anak cucu adam ada satu keunikan – apa yang disebut sebagai kalimah adamiyyah – yang tidak ada pada makhluk lain, yaitu: kemampuan mengetahui. Pada manusia, jika kita ikuti teori Ibn ‘Arabi, Tuhan seperti melihat semacam “alter ego-Nya”, manusia adalah mir’atun majluwwatun, cermin yang cemerlang dimana Tuhan akan melihat citra-Nya sendiri. Dan di hari raya Idul Fitri, adalah ingin mengajak kita kembali mengingat status tersebut. Bahwa kita adalah makhluk istimewa yang seharusnya merefleksikan sifat-sifat Tuhan, yakni: belas kasih dan cinta.

Hari dimana, hanya manusia-manusia yang telah berhasil menempuh ujian selama Ramadhan mendapatkan kebahagiaan ruhani secara mutlak. Hari dimana manusia disadarkan akan kediriannya yang sejati, yakni diri yang mencinta kepada Tuhan dengan bertakwa kepada seluruh perintah-Nya. Hari dimana kita di suruh untuk berziarah ke dalam diri, menengok ke dalam, berdialog, berdiskusi untuk mengenal diri dan mencapai kesadaran: bahwa manusia sejatinya adalah milik Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Sebab tanpa ada pengenalan diri, ia akan sulit mengenali Tuhan, sebagaimana ungkapan mahsyur dikalangan sufi, man ‘arafa nafsahu, faqod ‘arafa robbahu.[]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun