Bulan suci Ramadhan itu abadi, akan selalu dan terus-menerus ada di setiap zaman hingga hari kiamat tiba. Namun, pada setiap memasuki bulan Ramadhan, tak dipungkiri selalu melahirkan perasaan baru terhadap suatu hal yang selalu berulang terjadi di setiap tahunnya itu. Malah justru momen itulah, yang oleh umat muslim senantiasa dinanti, bahkan bergembira ketika bulan itu datang. Barangkali ini yang disebut dalam aliran filsafat perenialisme, dimana sesuatu yang terjadi secara terus-menerus dan berulang-ulang, tetapi pada setiap kejadiannya selalu mengalami pembaruan yang menceriakan hati.
Begitulah dengan bulan suci Ramadhan, yang meski selalu berulang terjadi, umat muslim senantiasa bergembira akan kehadirannya. Perasaan hati yang tak mampu diungkapkan dengan kata, ia berupa gelombang rasa yang lembut, getaran yang santun, dan perasaan-perasaan serupa akibat limpahan keilahian lainnya. Nampaknya, Allah memang menghadirkan bulan ini, agar hamba-Nya merasakan kegembiraan spiritual di ceruk hatinya yang terdalam.
Namun, kita perlu menelisik lebih dalam, apakah betul kita memang sungguh-sungguh bahagia menyabut bulan Ramadhan sehingga dapat dengan tulus menjalani seluruh ibadah di dalamnya? Padahal sejatinya Ramadhan adalah kewajiban berpuasa, yang bermakna menahan dari segala hal yang dapat membatalkannya. Kita diperintahkan oleh Allah untuk menahan makan dan minum sepanjang hari, padahal tubuh kita amat memerlukannya, kita menahan diri dari segala bentuk perilaku yang dapat mencederai kualitas ibadah kita seperti: mengguncing, marah, dan pelampiasan hawa nafsu lainnya, padahal semua itu sering dibalut oleh sebagaian kita dengan kata "manusiawi". Jadi jika demikian, dapat diartikan bahwa berpuasa menjadikan kita tidak lagi manusiawi, lantaran berbagai aturan ketat-mengikat dari Allah selama Ramadhan berlangsung? Tentu tidaklah demikian, di bulan Ramadhan, Allah justru mengajak kita kembali pada diri kemakhlukan yang sejati, yakni menjadi makhluk spiritual yang berlandaskan cinta.Â
Cinta kepada Sang Maha, yang telah memerintahkan kita untuk bersusah payah menahan segala sesuatu yang manusiawi tadi selama satu bulan penuh. Karena gelar manusiawi yang sudah melekat semenjak manusia lahir hingga kematiannya kelak itu memanglah tidak bisa dielapaskan, maka pada sudut pandang ini, berpuasa adalah sebuah kesusahan. Menyambut bulan Ramadhan dengan keriangan adalah ungkapan klise yang penuh kepalsuan. Sudut pandang ini kuranglah lengkap, masih harus diteruskan agar tidak hanya menjadi sudut, melainkan menjadi lingkar pandang sebagaiman orang saat tawaf menyisiri ka'bah. Maksutnya, bahwa gelar manusiawi tadi tidaklah mampu dilepaskan sepanjang hayat, dan rasa susah akan berpuasa tersebut juga tidak dipungkiri kebenarannya, tetapi menjalankan ibadah puasa yang menyusahkan atas dasar kemanusiawian itu, kita lakukan karena yang memerintahkan adalah Allah, Tuhan yang kita cintai. Maka berpuasa adalah soal cinta.
Karena kita cinta kepada Allah, maka berpuasa akan tetap kita laksanakan, sebagaimana ketika Sayyidina Umar bin Khattab mencium hajar aswad, bukan lantaran Sayyidina Umar mencintai batu hitam yang menempel di dinding ka'bah itu, melainkan karena Muhammad SAW, orang yang amat dicintainya, melakukan itu, maka Sayyidina Umar juga turut melakukannya. Sama halnya, dengan berpuasa, karena ini adalah perintah Allah, Tuhan yang selama ini kita sembah, kita cintai, maka kita melakukannya.Â
Jika paradigma ini kita terapkan, maka berpuasa tak lain adalah persembahan cinta kita kepada-Nya karena Dia juga mencintai kita. Sebab berpuasa ternyata justru melahirkan kabaikan yang luar biasa. Terbukti secara medis memang berpuasa justru membawa banyak manfaat bagi kesehatan, misalnya. Di sisi lain, meminjam pemikiran dari Jalaluddin Rumi, bahwa berpuasa adalah ajang pengkosongan diri agar mampu di isi oleh limpahan cahaya ilahi yang menerangi hati. Bilamana tubuh kita penuh akan hawa nafsu, maka cahaya Tuhan akan terhijab, nafsu menjadi tirai antara hamba dengan Tuhannya. Dengan berpuasa, bagi Rumi, manusia diibaratkan bagaikan seruling yang berlubang: bersih-kosong, sehingga dapat masuk udara suci, dan yang keluar adalah suara yang indah. Demikian halnya dengan orang yang berpuasa, ia menjadi terisi oleh limpahan langit, sehingga apa yang keluar darinya: tutur kata, perilaku, perasaan dan pikirannya selalu baik dan indah.
Bukan hanya itu, sebab jika hanya berbicara pada persoalan spiritual, maka terkesan hanya mengedapankan ritual. Padahal meminjam pemikiran dari Fahrudin Faiz, bahwa manusia ditakdirkan untuk menjadi manusia dan sekaligus menjadi hamba. Manusia artinya adalah menjalani kehidupan sosial secara harmoni, sementara status hamba adalah hubungan vertikal berupa ketaatan dengan menjalankan ibadah kepada Tuhannya. Nah, bulan Ramadhan tidaklah bertujuan untuk mencetak umat fatalistik yang hanya beribadah dengan nuanasa ritualistik belaka. Melainkan, bulan Ramadhan mengajak kita untuk tetap menjadi manusia, yakni makhluk sosisal yang saling membantu satu sama lain. Momentum Ramadhan, menjadi suasana berbagi kebaikan dengan berbagai tradisi yang sungguh meriah sekali. Misalnya, memberi makan orang berbuka, membayar zakat, dan bersedekah, menjadi hal yang levelnya seperti sebuah kewajiban. Dan jika kita sadari, ritual-ritual yang dilaksanakan saat Ramadhan pun, itu meniscayakan persatuan sosial yang amat optimal. Di berbagai masjid, ada pengadaan buka bersama, shalat tarawih berjamaah, pengajian, tadarus bersama, dan sejenisnya. Semua itu melahirkan situasi interaksi sosial yang begitu rekat dan positif.
Artinya, bulan Ramadhan menjadi puncak manusia untuk mencapai nilai spiritualnya sekaligus nilai sosialnya terhadap sesama. Maka, kesempatan ini hendaklah disadari oleh umat muslim, agar bulan Ramadhan mampu menghantarkan kita menjadi manusia seutuhnya, sebagai makhluk spiritual dan sebagai makhluk sosial yang paripurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H