Selain itu, untuk apa pejabat Kementerian Pariwisata ikut-ikutan mengatur proyek-proyek promosi dan ikut-serta keluar negeri melakukan Sales Mission, Travel Fair, Hot Deals, Fam Trip, Table Top dan sebagainya? Itu semua biarlah dilakukan pihak swasta (maskapai penerbangan, asosiasi pariwisata, travel agent, hotel, dan sebagainya). Terkait proyek-proyek promosi ini, yang harus dilakukan Kementerian Pariwisata adalah membuat regulasi agar tidak saling tumpang-tindih. Sering terjadi, dalam suatu pameran, baik di dalam maupun di luar negeri, ada sejumlah peserta dari Kementerian Pariwisata, Dinas Pariwisata Provinsi, Dinas Pariwisata Kabupaten/Kota, pihak swasta (travel agent, hotel) menjual produk (destinasi wisata) yang sama tapi berbeda-beda informasinya. Semua ini tentu membingungkan pihak buyer dan juga wisatawan.
Masalah lainnya adalah proyek sertifikasi pariwisata yang baru saja Anda luncurkan dengan menggandeng GSTC (Global Sustainable Tourism Council). Pertanyaan pertama, apa urgensinya proyek sertifikasi ini? Lagipula, sudah ada Kementerian Pariwisata, sudah ada STP (Sekolah Tinggi Pariwisata), sudah ada Fakultas Pariwisata di banyak kampus, mengapa harus bekerjasama dengan GSTC untuk sertifikasi? Untuk bagi-bagi proyek?
Kasus lainnya yang juga membingungkan adalah proyek teknologi MPD (mobile positioning data). Selain menghabiskan anggaran yang sangat besar dan kredibilitas vendor proyek ini yang patut dipertanyakan, cara seperti ini jelas-jelas melanggar privacy. Wisatawan mancanegara "disedot" datanya tanpa seizin mereka.
Masih soal buang-buang anggaran. Ketika terjadi banyak musibah bencana alam di sejumlah destinasi pariwisata Indonesia, terutama Bali dan Lombok, Anda sama sekali tidak punya empati. Anda malah membuang-buang uang dengan membuat FGD, seminar, rakornas, dan sebagainya di hotel-hotel paling mewah di Jakarta seperti (Ritz Carlton, Kempinski, Westin, dan masih banyak lagi). Apa urgensinya mengadakan acara-acara seperti itu, apalagi tempatnya di hotel-hotel kelas atas?
Satu masalah lain yang tidak kalah penting: Anda itu berpikir sektoral dan hanya mengedepankan ego pribadi.
Saya tidak habis pikir, kenapa Anda seperti membangun "kerajaan" sendiri di Kementerian Pariwisata dengan Anda sebagai "raja"-nya. Contohnya ketika Bapak Peter F. Gontha, Dubes RI di Polandia, ingin bertemu di Gedung Sapta Pesona, Anda malah meremehkan Beliau. Padahal Pak Peter sudah memiliki jam terbang dan kontribusi yang tidak sedikit dalam bidang pariwisata, terutama dalam penyelenggaraan Java Jazz Festival yang sudah berlangsung belasan tahun.
Contoh lain yang paling nyata terlihat ketika pelaksanaan event-event internasional berskala besar seperti Asian Games, Asian Para Games, atau IMF-World Bank Annual Meetings. Kontribusi Anda sangat minim. Anda tidak bisa memanfaatkan momentum-momentum tersebut untuk mempromosikan Indonesia. Contoh kecil saja namun jelas-jelas menunjukkan ego Anda: banyak usulan agar boneka cindera mata Asian Games (Bhin Bhin, Atung, Kaka) yang sangat populer saat itu bisa menjadi cindera mata pariwisata Indonesia. Namun Anda menolak tanpa alasan yang jelas.
Dengan berbagai permasalahan di atas, sektor pariwisata Indonesia selama hampir lima tahun belakangan ini sebenarnya berjalan di tempat. Ada kesalahan mendasar dan strategis dalam kebijakan Anda selama ini. Anda gagal mengembangkan destinasi wisata di luar Bali. Kedatangan wisatawan mancanegara lewat bandara masih didominasi di Bali (45%), baru disusul di Cengkareng 20%, Kepulauan Riau 15%, dan sisanya 20% dari bandara lain. Anda tidak bisa mengklaim kenaikan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sebagai keberhasilan Anda. Kenaikan ini berjalan secara alamiah terutama didorong oleh para pelaku pariwisata dari sektor swasta.
Lebih buruk lagi, Anda tidak mau melakukan evaluasi dan menyatakan bertanggung-jawab. Ketika target kunjungan dan devisa wisatawan mancanegara tidak tercapai, Anda malah mengkambinghitamkan berbagai bencana alam (erupsi Gunung Raung di Banyuwangi, erupsi Gunung Agung di Bali, gempa Lombok), kurangnya anggaran, kendala infrastruktur, dan masih banyak lagi alasan lainnya. Pokoknya Anda merasa tidak keliru.
Melalui Surat Terbuka ini, saya ingin Anda minta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia dan terutama kepada Presiden Joko Widodo yang telah memberikan amanah kepada Anda namun telah Anda salah-gunakan. Anda juga harus mengundurkan diri secepatnya agar kerusakan yang telah Anda timbulkan tidak semakin parah.
Demi pariwisata Indonesia,