Pemerintah beralasan, pelaksanaan SJSN akan menimbulkan risiko fiskal yang terlalu besar. Mengingat kewajiban pemerintah yang harus menanggung iuran warga yang tidak mampu. Fiscal space pemerintah sangat terbatas, APBN telah terkuras untuk 20 % alokasi pendidikan, 5% untuk kesehatan, 1,5% dari PDB untuk pertahanan alutsista, 30 persen untuk transfer ke daerah, dan hanya tersisa 9 % yang dapat leluasa dipergunakan. Kalau perlu pelaksanaan SJSN ditunda hingga 5 tahun ke depan.
Hal tersebut terungkap dalam kesaksian Faisal Basri di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (13/4). Faisal Basri di hadirkan sebagai saksi ahli oleh kuasa hukum KAJS untuk melawan Pemerintah dan DPR sebagai tergugat.
kuasa Hukum KAJS, Surya Chandra, mneghadirkan ekonom UI tersebut untuk membuktikan bahwa, pemerintah tidak memilki niat baik untuk menjalankan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) meskipun mampu secara fiskal.
Faisal Basri menyakinkan Majelis Hakim, bahwa ketakutan pemerintah akan risiko fiskal tersebut tidaklah beralasan. Ia membeberkan, dana masyarakat untuk belanja sosial hanya sebesar Rp. 63 Triliun antara lain untuk Jamkesmas, BLT, beasiswa sekolah, Raskin, dan belanja sosial lain di bawah Departemen Sosial.
Bandingkan dengan anggaran untuk pembayaran bunga pinjaman sebesar Rp. 113 T, untuk subsidi Rp. 214 T (termasuk di dalamnya subsidi BBM sebesar Rp. 187 T). Ironisnya penikmat subsidi belum tentu rakyat miskin. “Risiko fiskal macam apa!, justru risiko fiskal terbesar adalah subsidi dan pembayaran bunga“, tegas Faisal.
“Di lain pihak penghasilan cukai rokok lebih dari Rp. 100 T, kalau pemerintah ada niat baik 30% dana dari cukai rokok dapat dipergunakan untuk SJSN ditambah dengan pengurangan subsidi BBM, niscaya SJSN akan berjalan“, tambahnya.
Indonesia telah menganut sistem pasar yang bercirikan roda ekonomi berjalan sesuai dengan mekanisme pasar. Prasyaratmenganut sistem pasar adalah harus ada jaring pengaman sosial. Keduanya ibarat dua sisi mata logam. Tidak melaksanakan SJSN ibarat membiarkan rakyat menjadi mangsa meknisme pasar yang kejam, paparnya.
SJSN akan menyatu dalam sistem pasar. Ibarat darah segar yang akan mengalir di setiap sendi perekonomian. SJSN akan menggerakkan roda perekonomian.
Faisal memberi contoh perhitungan, jika iuran dana Jaminan Hari tua sebesar 6% dari upah pekerja, maka pada tahun pertama terkumpul dana Rp. 34 T dan sepuluh tahun kemudian dana terkumpul Rp. 358 T. Jika ditambahkan dengan iuran jaminan kesehatan, maka dana dapat melebihi APBN sekarang ini.
”Hal tersebut sudah berjalan di Malaysia. Saat ini Employees Provident FundofMalaysia telah mencapai $100 M”, saksi menambahkan.
Di Negara-negara yang mengembangkan SJSN, peran permodalan dari perbankan tidaklah lebih besar dibandikan peran permodalan dari dana SJSN.
Faisal mencontohkan, penggunaan dana pensiun, dapat untuk membeli saham Pelindo II, supaya Pelindo II dapat memperdalam dermaga, sehingga dermaga dapat disinggahikapal berkapasitas 15 ribu bok. Mekanisme seperti inilah yang terjadi di negara seperti Hongkong, Korea, Malaysia, yang melibatkan perputaran dana sekitar $300 M.
Karenanya dalam akhir kesaksiannya, Faisal menekankan kembali bahwa pelaksanaan SJSN bukanlah pilihan, akan tetapi adalah amanat UUD NRI 1945 dan juga prasyarat bagi Negara yang menganut mekanisme pasar. (Adhi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H