Kondisi penyelenggaraan jaminan kesehatan sebelum era BPJS Kesehatanbelum memenuhi prinsip equitas, sebagaimana diamanatkan UU SJSN. Undang-undang menghendaki ada kesamaan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis yang tidak terikat dengan besaran iuran peserta.
Paket manfaat, sebelum era BPJS Kesehatan, masih sangat bervareasi tergantung dari badan penyelenggaranya. Masih terdapat pelayanan yang tidak dijamin (exclusion of benefit), pembatasan pelayanan (limitation benefit), danada keharusan membayar selisih tagihan (cost sharing). Selain itu, terdapat perbedaan akses klaim mengingat adanya segmentasi kepersertaan, sepertijaminan kesehatan segmen pekerja yang diselenggarakan PT. Jamsostek, dan segmen peserta PT Askes (Persero), seperti PNS, pejabat tertentu, Jamkesmas, dan Jamkesda. Kondisi tersebut menunjukkan adanya kepesertaan yang tidak menyeluruh, pemberian manfaat yang tidak sama sehingga menunjukan adanyadiskriminasi dalam pelayanan kesehatan.
Memasuki era baru penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional, kekurangan tersebut nampaknya diupayakan ditanggulangi. BPJS Kesehatan menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia dengan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
Penyelenggaraan jaminan kesehatan Era BPJS Kesehatan memperlihatkan harapan baru. Penulis mencermati beberapa regulasi penyelenggaraan jaminan kesehatan. Ada ketentuan-ketentuan yang menunjukkan perbaikan tersebut. Beberapa yang ditemukan yaitu antara lain:
a.Prosedur pendaftaran dengan persyaratan yang lebih mudah.
b.Paket manfaat yang lebih komperhensip, tanpa ada cost sharing dari peserta.
c.Adanya kompensasi berupa uang, pengiriman tenaga kesehatan, atau penyediaan fasilitas kesehatan tertentu,yang memberi jaminan kepada peserta untuk tetap mendapatkan haknya atas layanan kesehatan saat berada di daerah yang tidak terdapat fasilitas kesehatan.
d.Prosedur klaim yang lebih ringkas.
e.Dimungkinkannya penggunaan obat di luar formularium nasional berdasarkan persetujuan Komite Medik dan Kepala/Direktur rumah sakit, apabila diperlukan sesuai indikasi medis.
f.Prosedur layanan berjenjang yang sama di semua wilayah Indonesia, dan
g.Jangka waktu pencairan klaim fasilitas kesehatan yang lebih cepat (15 hari kerja dibanding sebelumnya yang hingga 1 bulan).
Kemajuan tersebut, bukan tanpa masalah dalam praktik di lapangan. Awalnya banyak peserta yang mengeluhkan antrian pelayanan yang panjang, tidak mendapatkan jaminan akibat tidak mengikuti prosedur rujukan, dokter masih ada yang meresepkan obat yang tidak terdaftar dalam formularium nasional sehingga peserta harus membayar sendiri biaya obat, singkatnya batas waktu rawat inap, hingga tidak dilayaninya peserta dikarenakan tempat tidur rumah sakit penuh, termasuk ruang ICU.
Seorang peserta penderita meylofibrosis pernah juga mengeluhkan hal tersebut kepada penulis. Meylofibrosis adalah penyakit di mana terbentuknya sel darah abnormal dan serat dalam tulang sumsum.Jaring serat-serat dalam tulang sumsum berubah menjadi sangat tebal, akibatnya kemampuan jaringan pembentuk darah untuk membuat sel darah menjadi lambat, akibatnya untuk menggantikan jumlah sel darah yang rendah dalam tulang sumsum, hati dan limpa dipaksamembuat sel darah.
Berbagai keluhan itu telah di lewatinya. Saat ini, peserta tersebut merasa pelayanan menjadi lebih baik, sperti yang diungkapkannya berikut:
“Sekarang aku pake BPJS lancar kok.tu kan keluhan sudah usang, nda baik diungkit lagi toh kinerjanya juga sudah membaik.”
Ia mengaku tidak dipungut biaya pelayanan kesehatan, kecuali saat menginginkan kelas ruang perawatan yang lebih tinggi. Sesuai pasal 62Per. BPJS Kes N0.1/2014, pungutan dimungkin, bila Peserta menginginkan kelas ruang perawatan lebih tinggi dari yang menjadi haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan berdasarkan tarif INA-CBG’s dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan. Namun, apabila ruang rawat inap yang menjadi hak peserta penuh,peserta dapat dirawat di kelas perawatan satu tingkat lebih tinggi, tanpa dikenakan urun biaya. Hal ini sesuai Pasal 61 Per. BPJS Kes N0.1/2014.
“Aku opname di RS Telogorejo, jatah kelas 1 tapi aku naik ambil vip, kalotidak keliru 5 hari abis Rp.7,6 jt, nah aku cuma iur biaya Rp.1,6 juta, yangRp 6juta dari BPJS.Pernah juga di RSTelogorejo totalnya aku tidaktahu tapi cuma iur biaya Rp. 1,2 jt.Di RSBrebes 2 kali opname ambil kelas vip semuanya gratis.”
Peserta pengidap penyakit langka ini membutuhkan managemen khusus dalam pelayanan kesehatan. Ia mengaku merasa kualahan mengikuti prosedur sistem rujukan berjenjang, mengingat kondisi badannya yang lemah. Karenanya, ada harapan khusus yang ia simpan:
“Harapanku dalam proses penyembuhan ini adalah dapat mukzizat sembuh. Andaipun tidak mendapat mukzijat, aku memimpikan ada semacam manager buat aku. Manageryang mengetahui riwayat sakitku, menguruskan segala administrasi dalam proses pengobatan juga opname, memberikan solusi-solusi terapi yang tepat, misalnya: apakah aku perlu yoga atau suplemen atau olah raga khusus, mengatur dietku (menu, gizi), mengingatkanku jadwal terapi, menjadi kawan untuk dengar curhatku”
Tidak dapat dipungkiri kekurangan selalu ada, namun harapan pelayanan kesehatan semakin baik tidak boleh padam, agar semakin banyak yang merasakan manfaatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H