|P|A|G|I|
Sehabis mandi aku bergegas ke kantor. Sengaja tidak menyempatkan diri untuk sarapan, yang penting bisa segera tiba di kantor. Hehe... rajin ya? Nggak juga. Itu karena Mbak Endang. Ya, Mbak Endang, sosok wanita idaman kaum pria. Sudah cantik, ramah pula, dan yang penting senyumnya itu.. misterius (maaf ya mbak, sulit sekali mencari kata yang tepat). Seandainya Leonardo da Vinci masih hidup, pasti lebih memilih melukis Mbak Endang ketimbang Mbak Mona.
"Pagi mbak" sapaku, "Pagi pak" jawabnya. Sebetulnya aku ingin sekali dipanggil 'Mas', mm.. maksudku biar lebih akrab. Akupun merasa belum terlalu tua dan masih pantas dipanggil "Mas'.
|S|I|A|N|G|
Kulirik jam dinding hampir menunjuk angka 12, saatnya istirahat siang. Aku langsung ke meja Mbak Endang, "Makan yuk mbak" ajakku, tapi rupanya hari ini Mbak Endang membawa bekal makan siang buatan ibunya. Ini adalah kegagalanku mengajaknya makan siang yang ke-sekian kali. Seingatku 2 hari lalu keduluan diajak si Agung, kemarin Mbak Endang puasa.
|S|O|R|E|
Menjelang bubar kantor, sekali lagi aku bergegas menemui Mbak Endang untuk menawarkan tumpangan. "Terima kasih pak, saya sudah ada yang antar" sahut Mbak Endang menampik. Duh.. gagal maning.
Tiba-tiba ponselku berdering, terdengar suara lirih "Pah si ade demam". Sekejap sirna lamunan tentang Mbak Endang tergantikan wajah mungil malaikat kecilku. Rasanya berdosa menghianati kepercayaan mereka, meskipun hanya sekedar selingkuh hati. Kupacu mobilku supaya sesegera mungkin tiba di rumah. Tapi ah... senyum Mbak Endang memang misterius.
*inspired by the real person
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H