Paskibraka Indonesia (PPI) menyampaikan kekecewaan mendalam terkait keputusan yang dianggap melarang penggunaan jilbab oleh para anggota Paskibraka Nasional 2024. Sebanyak 18 anggota Paskibraka putri, yang sejak awal menggunakan jilbab, diminta melepas jilbabnya saat pengukuhan oleh Presiden Joko Widodo di Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 17 Agustus 2024. Hal ini memicu protes dari berbagai pihak, termasuk PPI, yang menyatakan bahwa ini adalah kali pertama terjadi sejak program Paskibraka dipegang oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada 2022.
Pengurus Pusat PurnaKetua Umum PP PPI, Gousta Feriza, menyebut bahwa penggunaan jilbab oleh anggota Paskibraka tidak pernah menjadi masalah sebelumnya. Ia mempertanyakan apakah jilbab dianggap sebagai sesuatu yang mempengaruhi penampilan atau anggunnya para petugas Paskibraka. Gousta juga menegaskan bahwa penggunaan jilbab tidak akan mengganggu tugas para anggota Paskibraka dan menilai bahwa larangan tersebut mencederai semangat kebinekaan serta nilai-nilai Pancasila, khususnya sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam kesempatan yang sama, PPI menolak keras jika memang ada larangan tersebut dan berharap pada hari H upacara kemerdekaan, anggota Paskibraka putri yang mengenakan jilbab tidak dilarang memakainya. Gousta juga menyatakan keyakinannya bahwa Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih, Prabowo Subianto, tidak akan mendukung larangan tersebut.
Sikap serupa disampaikan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, M Cholil Nafis, yang menyebut dugaan pelarangan jilbab sebagai kebijakan yang tidak Pancasilais. Cholil menegaskan bahwa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjamin hak melaksanakan ajaran agama dan meminta agar larangan tersebut dicabut. Ia juga menyarankan agar anggota Paskibraka muslimah lebih baik pulang jika dipaksa melepas jilbabnya.
Merespons protes tersebut, Kepala BPIP Yudian Wahyudi memberikan penjelasan bahwa tidak ada pemaksaan bagi anggota Paskibraka Nasional 2024 untuk melepas jilbab. Menurut Yudian, anggota Paskibraka putri melepas jilbabnya secara sukarela demi mematuhi aturan yang ada. Ia menegaskan bahwa penggunaan jilbab hanya tidak diperkenankan saat pengukuhan Paskibraka dan upacara pengibaran bendera pada 17 Agustus 2024. Di luar itu, seperti saat latihan, anggota Paskibraka yang berjilbab tetap diperbolehkan mengenakannya.
Yudian juga menyatakan bahwa setiap calon Paskibraka mendaftar secara sukarela dan telah menandatangani surat pernyataan yang mencantumkan tata pakaian dan sikap tampang Paskibraka. Aturan ini telah ditegaskan dalam Surat Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 Tahun 2024 tentang Standar Pakaian, Atribut, dan Sikap Tampang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka. Yudian menambahkan bahwa sejak awal berdirinya Paskibraka, seragam beserta atributnya telah dirancang dengan makna Bhinneka Tunggal Ika, yang menjadi dasar peraturan tersebut.
Kontroversi ini terus bergulir, dengan berbagai pihak yang mendesak agar larangan tersebut dicabut demi menghormati hak beragama dan menjaga semangat kebinekaan di Indonesia.
Isu ini bukan hanya soal seragam dan tampilan, melainkan menyangkut hak fundamental setiap warga negara dalam menjalankan keyakinan agamanya, yang dijamin oleh UUD 1945 dan Pancasila.
Paskibraka, sebagai salah satu simbol kebanggaan nasional, seharusnya mencerminkan semangat kebinekaan yang menjadi dasar negara kita. Keberagaman dalam agama, budaya, dan suku bangsa adalah kekayaan yang harus dijaga dan dihormati, bukan justru dipersulit oleh aturan yang bisa dianggap diskriminatif.
Penggunaan jilbab oleh anggota Paskibraka putri seharusnya dilihat sebagai wujud dari kebebasan beragama dan ekspresi keyakinan yang tidak mengurangi apapun dari nilai estetika maupun ketertiban yang diinginkan dalam upacara kenegaraan. Jika jilbab memang tidak mengganggu pelaksanaan tugas, mengapa harus ada pembatasan?