Mohon tunggu...
Adhi Cahyono
Adhi Cahyono Mohon Tunggu... -

dibesarkan di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, dimana hampir semua Jenderal di Republik ini pernah belajar dan menghirup udara segarnya. Sempat merasakan dingin dan sejuknya udara kota Bandung, dan sekarang menetap di Bekasi. Ngeblog di Kompasiana dengan niat dan tujuan sederhana, belajar menulis. Itu saja.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Lalu Semua Ini untuk Apa? (dari Sang Pencerah)

26 September 2010   03:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:58 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Jikalau anda bertanya kepada saya, saya ini pengikut Muhammadiyah, NU, Persis, atau ormas Islam lainya?. Terus terang saya susah menjawabnya.  Mungkin jawaban yang pas adalah, saya ini “abangan”. Saya tak cukup punya keberanian untuk menjawab pertanyaan tadi dengan jawaban “saya seorang santri” atau “saya seorang priyayi”. Saya lebih “comfortable” menjawab pertanyaan itu dengan jawaban “saya seorang abangan”.  Bagaimana dengan jawaban anda jika pertanyaan yang sama ditujukan kepada anda?. Di suatu hari, di sebuah langgar kecil, beberapa santri duduk hendak mengaji. Sang Kyai mempersilahkan para santrinya untuk bertanya. “Apa itu agama?” sebuah pertanyaan membuka pengajian itu. Sang Kyai merengkuh biola dan memainkannya, sebuah lagu yang indah dan mendayu segera mendekap. “Apa yang kalian rasakan?”,tanya sang Kyai segera setelah selesai memainkan lagu itu. Kedamaian, keindahan, ketenangan, membebaskan, itulah beberapa jawaban yang disampaikan oleh para santri. Itulah agama jawab Sang Kyai. Adalah seorang Muhammad Darwis, pemuda berumur belasan tahun, menyatakan keinginannya untuk pergi ke Mekkah mendalami islam. Pernyataan yang segera disambut dengan tertawaan sinis dari “guru”nya. Darwis bingung, tapi kebingungan Darwis tetap saja membuat si “guru” itu melontarkan sebuah pertanyaan, yang sinis juga, “Berapa banyak Kyai di Kauman ini yang sudah mendalami Islam di Mekkah? Beberapa dari mereka malah sudah dua atau tiga kali kesana. Tapi perubahan apa yang mereka lakukan di sini setelah itu? Apa artinya ilmu jika ia tak mampu membawa perubahan kehidupan umat ke arah yang lebih baik? Terus apa perbedaan antara kamu dan mereka?” Darwis pergi ke Mekkah dan mendalami islam disana. Tidak jelas bagi saya, mungkin saya lupa, dimana peristiwa berikut ini terjadi. Seorang Imam Mesjid Besar duduk bersandingan dengan Darwis. “Saya tak tahu saya harus berkata dan berbuat apa. Kita ini sama2 muslim, kita ini saudara. Kenapa semua ini terjadi. Mungkin karena manusia terjebak dengan kewibawaan dan pesonanya sehingga lupa dengan tujuan semula. Lalu semua ini untuk apa?”. Sebuah permintaan maaf Sang Imam Besar kepada Darwis setelah menyadari kesalahannya, sebuah kesalahan yang semestinya bisa dihindarinya. Penggalan-penggalan adegan dan dialog tersebut diatas adalah sebagian dari banyak lagi, yang bisa atau mampu saya ingat dari Sang Pencerah, sebuah film yang berusaha mengisahkan perjalanan Muhammad Darwis yang lebih kita kenal sebagai Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Penggalan2 dan wacana2 yang ada didalamnya, masih kontekstual saja rasanya, padahal itu semua terjadi pada akhir abad ke-19/awal abad ke 20. Jangan2 kita sebenarnya, selama seabad ini, kita semua sebagai bangsa, tak berbuat apa2 karena kita masih saja berkutat dengan masalah-masalah yang sama. Memahami agama dengan keliru tapi mengklaim & berbuat seolah cuma kita yang memiliki kebenaran itu. Ilmu yang tak membawa perubahan kepada kehidupan umat (baca rakyat), coba berapa banyak Doktor & Professor di bidang pertanian yang dimiliki oleh bangsa kita, sebagian dari mereka bahkan mendapatkan gelar Doktornya dengan predikat akademis tertinggi tapi tak (belum?) mampu membawa perubahan kepada kehidupan petani kita, mayoritas dari bangsa kita. Dan dari penggalan terakhir di atas, hanya kebesaran jiwa dan pemahaman tentang tujuan hidup semulalah yang mampu menggerakkan dan membukakan hati “Sang Imam” untuk meminta maaf atas kesalahannya, kesalahan yang semestinya bisa dihindari.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun