Tersebutlah sebuah keluarga, tinggal di daerah kumuh, berempat semuanya; ayah, ibu, bocah laki-laki dan adiknya perempuan.Sebuah rumah sewaan yang sudah beberapa bulan sewanya tak terbayar, sepeda butut sang ayah dan dua pasang sepatu mungil untuk bersekolah.
Sepasang sepatu punya Zahra (anak perempuan dalam keluarga itu) suatu saat rusak. Ini masalah besar karena sepasang sepatu ini satu2nya milik Zahra. Bagaimana ia pergi ke sekolah jika tak mengenakan sepatu ? Ali (kakak Zahra) membawa sepasang sepatu berwarna pink milik Zahra ke tukang reparasi. Membeli sepasang sepatu baru bukanlah sebuah pilihan. Bagi mereka pilihannya cuma satu, membawanya ke tukang reparasi untuk diperbaiki.
Selesai sudah sepasang sepatu berwarna pink tadi diperbaiki. Ali melihat sepasang sepatu itu dengan perasaan sangat bahagia, terbayang di pikirannya betapa bahagianya Zahra nanti ketika ia tahu bahwa sepasang sepatu pink itu bisa dipakainya ke sekolah esok hari. Ia masukkan sepasang sepatu pink Zahra ke dalam tas kresek hitam yang lusuh. Dibawanya pulang sepasang sepatu pink itu pulang dengan penuh kebahagiaan.
Ali berhenti di sebuah toko grosir sayur dan buah2an. Ia tak lupa amanat ibunya untuk membeli beberapa buah kentang untuk dimasak nanti. Ia taruh sepasang sepatu pink Zahra di luar grosiran. Setelah selesai memilih kentang dan berhasil meyakinkan sang pemilik grosiran bahwa hutang akan dibayar di kemudian hari, ia melangkah keluar. Ali kaget mendapati bungkusan tas kresek hitam berisi sepasang sepatu pink Zahra, tak berada ditempatnya. Hilang. Ia cari kemana2 tak ia temukan juga. Ali cemas, bingung dan masygul, terbayang bagaimana sedihnya Zahra, bagaimana ia menjelaskan ini semua kepada Zahra, bagaimana esok hari Zahra pergi ke sekolah? Ali benar2 merasa bersalah.
Sepatu mungil di rumah, tinggal sepasang saja. Sepasang sepatu mungil itu dipakai bergiliran oleh Ali dan Zahra. Ada saja cara mereka berdua berbagi. Untuk sementara masalah selesai. Tapi Ali tak menyerah begitu saja. Ia ingin membayar rasa bersalahnya, ia ingin Zahra berbahagia, ia ingin mengganti sepatu Zahra. Tapi bagaimana caranya?
Sebuah lomba lari untuk anak2 diadakan. Ali mengetahuinya. Bukan lomba dan larinya yang membuat ia bersemangat untuk mengikutinya. Hadiah juara ketiga dari lomba lari itu yang membuatnya antusias dan ingin mendapatkannya. Sepasang sepatu mungil untuk juara ketiga. Pancaran wajah bahagia Zahra terbayang di pikirannya. Ya, hadiah juara ketiga berupa sepasang sepatu untuk Zahra yang membuatnya mengikuti lomba, bukan juara pertama dan hadiahnya yang ada dikepalanya. Sangat fokus sekali, kebahagian Zahra, itu saja.
Lomba dimulai dan Ali sangat antusias mengikutinya. Suatu ketika ia berada di barisan paling depan. Sambil terus berlari, ia teringat muka Zahra dan senyum bahagianya. Sadar bahwa ia berada di barisan terdepan, ia mengurangi kecepatan larinya, supaya menjadi urutan ketiga. Sepasang sepatu untuk Zahra, hadiah juara ketiga.
Beberapa puluh meter mendekati garis finish. Persaingan semakin mendebarkan. Ali berada di posisi ketiga, sepasang sepatu untuk Zahra adalah hadiahnya. Ali jatuh terjerembab, ditarik oleh pesaing di belakangnya. Semprul katanya dalam hati, kemarahan tergambar di mukanya. Ia bangkit berdiri dan berlari kembali penuh akselerasi. Ali menyentuh garis finish di urutan pertama.
Ali juara pertama. Ia dielu2kan oleh panitia dan penonton. Ali gembira. Tapi kegembiraan ini tak berlangsung lama. Ia tersadar, bukan juara pertama yang menjadi tujuannya, sepasang sepatu untuk Zahra hadiah juara ketiga itu tujuannya. Sepasang sepatu untuk dan kebahagiaan Zahra adalah semata2 alasan ia berlomba. Bukan juara pertama dan pialanya.
Ali pulang ke rumah membawa pialanya. Penuh keraguan langkahnya. Di lorong itu ia berhenti, Zahra menatapnya dari sebelah kolam ikan di tengah taman. Ali tak berani menatap Zahra, ia diam tak berbicara, tak sepatah kata pun keluar dari mulut mungilnya. Dan Zahra pergi meninggalkannya dengan diam juga. Ali, pialanya dan kolam ikan di tengah taman ditinggalkannya.
Ali mendekat ke kolam ikan di tengah taman. Ia copot sepatunya. Ia ingin merendam kakinya ke dalam kolam ikan di tengah taman. Sepasang kaki kecil penuh luka lecet dan percikan darah di beberapa bagiannya. Ali berlari dengan sepatu bututnya. Ia rendam sepasang kaki penuh luka lecetnya ke dalam kolam ikan di tengah taman. Ikan2 di dalamnya berenang berputar2 di dalam sebuah kolam di tengah taman. Ali masih saja terdiam, sepasang kaki penuh luka lecetnya pun terdiam, ia tak bisa bercerita betapa sakitnya berlari untuk juara ketiga dengan sepasang sepatu untuk Zahra sebagai hadiahnya.
[caption id="attachment_115933" align="aligncenter" width="305" caption="Ali dan Zahra"][/caption]
Ali memang seorang bocah aneh. Ia tak seperti kebanyakan. Tak seperti harapan kebanyakan dari kita, tentang anak2 kita. Ali cuma ingin menjadi juara ketiga, sementara kebanyakan dari kita, hampir selalu ingin anak2 kita menjadi juara pertama, dalam semua hal kalau bisa.
Persaingan mengubah semuanya. Dalam kasus Ali, pesaingnya membuatnya terjerembab jatuh, menjelang akhir lomba. Persaingan juga mengubah cara pandang kita, tentang bagaimana meraih sesuatu. Seringkali ia menggoda kita. Dan pada akhirnya, kita tergelincir ke dalam jebakan “tujuan menghalalkan cara”. Dari perspektif ini, Ali benar2 seorang diri, ia bukan bagian dari kebanyakan. Dan oleh karenanya, kita jengah dan aneh memandangnya. Sebagia dari kita bahkan cenderung ingin menyingkirkannya.
Kisah tentang Ali hanyalah sebuah cerita rekaan. Ia hanyalah sebuah tokoh dalam sebuah cerita. Children of Heaven judul film-nya. Bukan produk sebuah industri film Hollywood. Ia hanya sebuah film yang dihasilkan sineas dari negara yang hegemoni dunia ingin menyingkirkannya.
Tak usah jauh kita memandang kesana. Karena di dekat kita, cerita yang serupa ada di depan mata. Adalah seorang Siami dan anaknya. Ia seperti Ali dalam Children of Heaven. Aneh dimata kebanyakan kita. Siami hanya ingin menanamkan kejujuran ke anaknya. Seorang penjahit sederhana dengan niat tulus menanamkan sebuah nilai yang sederhana pula, kejujuran, kepada anaknya. Itu saja. Tapi kenapa sebagian dari kita berkeinginan untuk mengusirnya? Menuduhnya mencemarkan nama baik kita. Nama baik,…hmmm. Sesuatu yang mungkin saja, sebenarnya kita tak berhak menyandangnya. Nama baik kita.
Dalam kehidupan keseharian yang mengedepankan dan mengutamakan “pencapaian” dan ukuran semu dalam menilainya. Dalam kehidupan keseharian yang menggoda kita untuk selalu “bertransaksi” dalam menyelesaikan segala persoalan. Dalam kehidupan keseharian dimana persaingan menjadi udara dan nafas kita. Dalam kehidupan keseharian dimana kesempatan tak untuk semua. Dalam kehidupan keseharian dimana keteladanan susah ditemukan. Dalam kehidupan keseharian dimana apa yang sudah kita pegang hari ini, bisa berubah menjadi ketidakpastian di esok hari. Kebanyakan dari kita jengah, memandang aneh dan bingung menyikapi, keinginan Siami mendidik anaknya tentang arti dari sebuah kejujuran.
Kolam ikan di tengah taman, aku hendak mencarinya. Aku ingin meniru Ali, membuka sepatu bututku, melihat luka2 lecet di kedua kakiku karena perjalanan hidup yang sudah lumayan panjang. Aku ingin merendam kedua kaki penuh lecet ku kedalam air kolam ikan di tengah taman. Dan membiarkan Zahra untuk berlalu, semoga untuk sementara waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H