Semua ini membuat kita melayang dan seolah lupa dengan pesan Prof William Lidle, dalam analisisnya yang berjudul “Makna Kunjungan Obama” yang dimuat Kompas beberapa hari sebelum kedatangan Obama, bahwa pemerintah dan masyarakat Indonesia sebaiknya bersikap eling dan waspada, bersiap-siap terus untuk mengelola dan mengarahkan kebijakan Amerika demi pencapaian tujuan-tujuan Indonesia.
TAMU YANG BAIK
Dalam kuliah umumnya, Obama menyampaikan betapa pentingnya Indonesia di mata Amerika Serikat. Pentingnya Indonesia disampaikan dalam tiga perspektif fundamental yang berbeda sekaligus berkelindan antara satu dan lainnya, “Development, Democracy and Religion”.
Dari perspektif “Development”, Obama menyatakan bahwa Amerika Serikat berkepentingan terhadap sebuah Indonesia yang tumbuh dengan kesejahteraan yang dinikmati bersama oleh rakyat Indonesia. Pertumbuhan pada dasarnya bukanlah semata-mata tentang angka pertumbuhan dan angka2 statistik lainnya. Pertumbuhan pada dasarnya adalah peningkatan kualitas hidup manusia, sebuah kehidupan yang ditandai oleh “dignity and opportunity”.
Nampaknya Obama dan Favreu, si brondong itu, ingin mengingatkan kita bahwa GINI indeks Indonesia masih saja menyampaikan pesan yang bertolak belakang dengan harapan. Pemerataan pembangunan dengan distribusi pendapatan sebagai indikatornya, belum memperlihatkan adanya keberhasilan dari pembangunan atau pertumbuhan itu sendiri. Belum lagi jika kita menghubungkannya dengan pernyataan Joyo Winoto, Kepala Badan Pertanahan Nasional, beberapa waktu yang lalu, tentang dugaan bahwa 0.2% dari 220 juta penduduk Indonesia menguasai asset ekonomi Indonesia sebesar 56%.
Dari perspektif “Democracy”, Obama menyampaikan bahwa institusi-institusi yang kuat dalam melakukan control terhadap pusat2 kekuasaan, keterbukaan pasar, pers yang bebas dan system keadilan yang independent, diperlukan untuk mencegah “abuse and excess” dan mengedepankan akuntabilitas. Dibutuhkannya sebuah masyarakat yang terbuka dan rakyat yang aktif menolak ketidak-setaraan dan ketidak-adilan. Kesemua itu membutuhkan penolakan terhadap toleransi terhadap peluang terjadinya korupsi, komitmen terhadap transparansi dan kepercayaan bahwa kemerdekaan yang diperjuangkan Indonesia, adalah hal yang membuat Indonesia tetap bersatu sebagai sebuah bangsa.
Kembali, Obama dan Favreu, si brondong itu, mencoba mengingatkan kita untuk sejenak ber-tuma’ninah dan merenungkan fenomena-fenomena kontemporer kita seperti penyelesaian kasus penyerangan terhadap aktifis ICW dan kantor majalah TEMPO, mafia hukum yang masih mencengkeram sistem & institusi hukum kita, pemberian grasi terhadap terdakwa korupsi dan lain sebagainya.
Dari perspektif “Religion”, Obama kembali menyampaikan keinginan dan komitmen yang pernah ia sampaikan di Cairo, untuk membangun sebuah dan memperbaiki hubungan antara Amerika Serikat dan dunia muslim dengan sebuah pendekatan baru. Disertai dengan sebuah kesadaran bahwa sebuah pidato tak akan mampu menghilangkan “mistrust” yang sudah mengakar selama bertahun-tahun lamanya.
Masih terngiang di ingatan, bagaimana sebagian dari kita dan pemerintah menyikapi Ahmadiyah dan kasus Pondok Timur di Bekasi. Sebuah situasi yang juga dilingkupi aroma “mistrust” itu tadi.
Tapi, tidak satu pun negara di dunia ini yang sempurna, Obama mencoba membangkitkan optimisme dirinya dan juga kepada kita semua.
Sebenarnya saya ragu, apakah memang dalam menyampaikan itu semua, Obama dan Favreau, si brondong itu, didasari oleh pengetahuan tentang situasi-situasi kontemporer yang kita hadapi tentang “Development, Democracy dan Religion”, apalagi dengan niat untuk mengingatkan kita semua, atau jangan-jangan dan lagi2, ini semua hanya bermuara kepada “good old days” dan kesetaraan, sebagai “amunisi” untuk menjadi seorang tamu yang baik saja. Adalah jamak dalam dunia diplomasi, untuk tidak menyinggung hal-hal yang sensitif bagi kedua belah pihak, apalagi mengingat betapa berat dan seriusnya agenda Amerika Serikat yang dibawa Obama dalam kunjungannya ke India beberapa hari sebelumnya. Aaah, siapa yang tahu?.