Hal-hal tentang Obama, kedatangannya, kemacetan yang diakibatkan ketatnya pengamanan, gesture, senyum, ucapan2nya yang relative banyak menggunakan kata-kata yang berasal dari Bahasa Indonesia dan kehangatan yang terasakan, sudah banyak ditulis dan dilaporkan oleh media, cetak maupun elektronik. Tak kurang ramainya, social networking seperti twitter dan facebook lewat status2 yang silih berganti meramaikan dunia maya. Bahkan Tiffatul Sembiring pun masih sibuk mempertahankan keyakinannya bahwa ia tidak menyalami Michelle.
Nama dan photo John Favreau, speech-writer dari pidato Obama pun menjadi pembicaraan dan beredar ramai di dunia maya. Nampaknya Favreau sangat digandrungi para cewek, tak hanya yang masih single, yang sudah bersuami pun ikut ramai membicarakan brondong satu ini. Terus terang saya iri juga dibuatnya….hehehehe.
Apa yang istimewa dari pidato Obama di UI?, sehingga sosok brondong Favreau seperti hendak diburu, bahkan Sarah Sechan sampai ingin mengajaknya untuk ber-Bhinneka Tunggal Ika. “I wanna do bhinneka tunggal ika with you,” tulis Sarah Sechan dalam akun Twitter-nya.
GOOD OLD DAYS
Membicarakan “good old days” memang menyenangkan. Saya yakin setiap orang senang melakukannya. Siapa yang tidak?.Kenyataan ini menjadi “amunisi” utama dalam setiap kesempatan berbicara. Bakso, nasi goreng, emping, Sarinah, becak, layangan, buaya, pulang kampong, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, silakan anda tambahkan sendiri. Good Old Days yang walaupun cuma empat tahun namun diakui oleh Obama telah mengajarkan nilai-nilai penting tentang hidup. Nilai-nilai tentang inklusivisitas, yang sampai sekarang masih ia junjung tinggi.
“Amunisi” ini, nampaknya sangat berhasil karena ia mampu menghadirkan nuansa kedekatan dan kehangatan. “Kita” menjadi kunci kedekatan dan kehangatan itu, bukan “kami” atau bahkan “aku”. Menjadi titik kulminasi dari sebuah ke-kita-an ini manakala Obama berkata bahwa “Indonesia is a part of me”.
Lihat saja bagaimana kita bereaksi terhadap ke-kita-an itu. Tertawa kita, applaus yang kita berikan, tanpa sadar kita semua mengiyakannya. Ia, Obama, merupakan bagian dari kita. Bahkan terkesan, justru kita yang membutuhkan pengakuan itu.
KESETARAAN
Sadar atau tidak, kita memimpikan kesataraan dalam setiap kita berhubungan dengan negara lain. Lihat dan ingat bagaimana reaksi kita manakala Malaysia berusaha mengklaim reog, batik, gamelan sebagai bagian dari budayanya. Bagaimana kita menyatakan mimpi kesetaraan itu ketika insiden penangkapan terhadap dua petugas Dinas Kelautan oleh pihak Malaysia terjadi. Demomstrasi dimana2, bahkan kotoran manusia pun, kita pakai untuk mengungkapkan betapa kesetaraan itu adalah sesuatu yang kita dambakan secara akut.
Obama dan Favreau, si brondong itu, tahu tentang itu, mimpi kita tentang kesetaraan hubungan. Inilah “amunisi” lainnya yang dengan cerdas digunakan dan lagi2 sukses menjadi pencapaiannya.
Membandingkan Bhinneka Tunggal Ika dengan E pluribus unum, sejarah panjang Amerika dalam memperjuangkan dan menjunjung tinggi kemerdekaan, kemanusiaan & pluralisme dengan perjuangan Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya, menjadi contoh bagaimana “amunisi” kesetaraan tadi disajikan.