Mohon tunggu...
Adhi Ayoe Yanthy
Adhi Ayoe Yanthy Mohon Tunggu... lainnya -

pekerja rumah indonesia, suka baca, senang traveling dan sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pancasila Rumah Kita: Sebuah Percakapan Sore

30 April 2011   03:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:14 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Adhi Ayoeyanthy pada 20 Mei 2009

Seorang kawan saya mendadak didapuk jadi pencipta lagu. Amsar A.Dulmanan nama kawan saya itu bersama Franky Sahilatua menciptakan lagu Pancasila Rumah Kita. Franky sendiri sebagai penyanyi dan Pencipta Lagu yang kadung kesohor mengakui peran itu. Diberbagai forum tempatnya ngamen menyanyikan lagu itu, selalu di jelaskan keterlibatan Amsar. Bahkan kalau diforum PMII (pergerakan mahasiswa Islam Indonesia) yang dengan tradisi Nahdlyinnya memang melahirkan Amsar, dijelaskan secara rijid baris baris bait mana yang jadi penemuan Franky dan mana yang ditemukan Amsar.
Amsar sendiri tidak terlalu geer dengan peran itu. Dia lebih merasa menemukan syair Pancasila rumah kita dibanding sebagai penciptanya. Karena sederhana saja : Dia merasa kata kata yang ditulisnya dalam lagu itu, sudah banyak jadi mimpi orang Indonesia dan pasti ada dibenak masing masing orang. Karenanya juga dia membiarkan Franky menjadi pemimpin banyak orang untuk menyanyikan lagu itu dimana mana. Katanya peran tersebut akan secara professional lebih cakap jika dilakukan Franky yang memang keseharian jam terbangnya bertambah dalam pekerjaannya sebagai penyanyi.
Menurut Amsar dengan membiarkan orang lain memimpin dalam perjalanan popularitas lagu itu juga merupakan penegasannya atas kepercayaannya yang lain, bahwa tidak semua hal bisa ia lakukan dalam perjalanan kemanusiaannya. Membiarkan orang yang mampu bekerja untuk maju memimpin tidak akan menutup peluang untuk popular bagi dirinya. Tidak ada orang bisa bekerja sendiri untuk membuat hal hal baik . Melakukan hal baik harus dimulai dari hal baik yaitu menjalin silaturahmi dengan banyak pihak. Sederhana saja karena dia yakin manusia seperti dirinya hanya mampu bekerja tidak sampai 0,001 % untuk menyempurnakan sebuah takdir yang didesain Sang Maha Sempurna
Perkembangannya kemudian lagu itu dianggap penting untuk disosialisasikan oleh banyak orang dalam kondisi Indonesia yang cenderung terjebak aneka konflik diametral sekarang ini. Banyak orang yang ingin berurusan dengan lagu itu selalu disarankannya untuk menghubungi Franky. Termasuk ketika seorang orang dekat SBY menawarkan : jika syair lagu terakhir agak dirubah sedikit sudah ada yang mau menjadikan ring tone ponsel.
Kebayang dong hitungan duitnya jika dilakukan, tapi bukan itu yang jadi kegelisahannya sehingga harus curhat . Tetapi adalah entah kenapa semua orang yang dikenalnya mendadak banyak mengusulkan hal yang sama. Suatu kebetulan juga mereka yang menginginkan penggantian syair lagu itu memang orang yang secara keseharian bukan oposan Negara. Mengapa Negara menjadi sangat berkepentingan merubah syair lagu Pancasila Rumah Kita, yang notabene Pancasila adalah bagian dari jargon keindonesiaan yang diperlukan negara sekarang ini untuk menegakkan eksistensinya yang sedang banyak dipertanyakan.
Saya sampai merasa perlu mencari syairnya secara tertulis, padahal selama ini saya mendengarnya sebagai kata yang biasa. Mungkin benar Amsar, karena kata katanya sejatinya sudah tersimpan dalam benak saya. Saya kutipkan :

PANCASILA RUMAH KITA
Pancasila rumah kita
Rumah untuk kita semua
Nilai dasar Indonesia
Rumah kita selamanya

Reff : Untuk semua puji namaNya
Untuk semua cinta sesama
Untuk semua warga menyatu
Untuk semua bersambung rasa
Untuk semua saling membagi
pada setiap insan
Sama dapat sama rasa

Oh ….Indonesia

Ketika saya tanya bait mana yang disuruh dirubah. Jawabnya bait sama dapat sama rasa. Alasannya mereka yang menginginkan perubahan syair sama, karena terlalu berbau komunis. Saya jelas multi kaget mendengarnya.Pertama kok ada orang Indonesia yang beda dengan saya dalam menangkap makna syair lagu itu dari apa yang saya miliki. Kedua di pasca orde baru memangnya kalau terlalu berbau komunis masih menjadi hal yang menakutkan dan terlarang juga sekaligus harus dirubah ? Ketiga di negara konsumen MTV ini yang liberalnya melebihi Amerika ternyata membuat bisnis menguntungkan dari karya sendiri masih disortir oleh sebuah kepanikan terhadap suatu ide.
Saya sendiri mengartikan syair itu masih aman dalam koridor moralitas publik : tidak sensual dan tidak menawarkan kebencian. Saya lebih melihatnya sebagai pencerminan sila kelima dalam Pancasila sebagaimana syair diatasnya yang cocok dengan sila pertama sampai ke empat. Tepatnya saya mengartikannya dengan pengertian : Siapapun berhak mendapat jika merasa bekerja. Teman yang lain meledek asumsi tadi dengan penilaian itu terlalu berbau kapitalistik.
Saya mencoba menjelaskan tentang definisi bekerja yang harus diperluas. Yaitu dengan memasukkan kerja domestik yang dilakukan emak emak rumah tangga seperti saya sebagai bagian dari produktivitas masyarakat yang harus dihargai. Tapi Amsar bilang walau tidak ikutan dengan asumsi kapitalistik tadi ketika menemukan syair itupun dia berpikir sama dengan saya, sekedar menurunkan pengertiannya mengenai sila kelima dalam pancasila.
Kalau dia menurunkan lebih dulu kata sama dapat lebih dahulu dari kata sama rasa, secara bergurau dia menjawab karena lebih banyak orang yang merasa dapat dibanding dengan yang benar benar dapat Untuk jawaban seriusnya dia menambahkan : untuk soal pembagian yang kita perlukan adalah gerak riil yang didasari spirit untuk membagi, bukan sekedar perasaan subyektiv sudah membagi apalagi sekedar pernyataan bahwa berbagi itu penting.
Ketika percakapan ini dilakukan anak saya (9 tahun) baru pulang sekolah dan langsung ikutan nimbrung. Pertanyaannya adalah komunis itu apa, kok bisa membuat sebuah syair harus dirubah. Dia menganggap penting karena dia termasuk orang yang suka merubah syair lagu lagu yang ada untuk meledek orangtuanya dalam keseharian pergaulan kami.
Seorang teman mengomentari secara serius : “komunis itu orang yang berpikiran komunal alias bersama dalam sebuah kelompok dengan diatur nilai yang disepakati bersama juga”. Karena latar belakang nya adalah Kristen Katolik dia mencontohkan dengan komuni digereja yang mensuir roti dalam potongan sama kecil dan dimakan bersama sebagai simbol kepercayaan terhadap aksi kebersamaan.
Yang lainnya meledek itu penjelasan yang terlalu bule dan nggak nyambung sama orang kecil. Kawan lainnya menerangkan dengan singkong goreng yang kebetulan jadi suguhan obrolan sore itu. Katanya : “Pak cik dan bu cik disini makan singkong goreng bersama dik, murah meriah dan enak. Tapi biar enak kami sengaja sisakan karena buat kamu, anggota geng obrolan kita sore ini yang kebetulan datangnya agak terlambat.”.
Sederhana jawaban anakku dengan penjelasan itu. “Kalau komunis berarti cara pembagian supaya aku kebagian apa saja yang dibagi, biarpun aku anak perempuan, kecil dan belakangan datang, aku suka. Boleh kan aku pilih cara itu bu?!”. Saya menjawab juga dengan sederhana, “Boleh, aku percaya juga itu pembagian yang cukup adil”
“Tapi aku tetap orang Indonesia kan bu”, tanyanya lagi. Anakku selalu mengkaitkan pilihannya dalam soal apapun dengan identitas ke-Indonesiannya. Dia sering diserang orang dengan pertanyaan seputar suku asalnya. Karena keluarga kami berasal dari campuran aneka ragam suku, kami mengajarkan Indonesia sebagai label identitas kediriannya yang paling sederhana.
“Ya tetap orang Indonesia nak, yang beda cuma cara matematika pembagiannya saja. Yang penting kamu yakin telah menghitung dengan baik bukan karena sekedar kamu suka. Tapi yang lebih penting lagi kamu nggak maksa orang untuk setuju dengan keyakinan kamu tentang cara matematika yang kamu suka” jawab saya ringan
Seminggu sesudah curhatnya Amsar, Saya masih tetap kaget jika ada yang beda asumsi dalan mengartikan syair lagu Pancasila Rumah Kita. Bersyukurnya saya masih yakin bahwa kaget dan beda masih boleh dinegara pancasila ini asal ….nggak maksa !.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun