Sudah beberapa tahun yang namanya 'mudik' tidak berlaku di keluarga saya. Entah kenapa saat lebaran tiba dan ada libur panjang, bukannya mudik malah pergi ke tempat-tempat asing untuk wisata. Kalaupun tidak begitu, saya sekeluarga hanya berdiam diri di rumah, melakukan pekerjaan biasa, seperti tahun ini. Itu semua karena saya tinggal hanya 16 KM dari kampung halaman. Dan hari ini, sehari menjelang lebaran, saya mendapat pelajaran baru tentang mudik.
Semua dimulai tadi pagi. Sejak bangun saya langsung 'kerja paksa' membersihkan rumah sampai tengah hari. Baru duduk beberapa saat Ibu mengajak saya ke pasar, sesuatu yang sangat jarang saya lakukan. Saya tinggal di Sukoharjo, pasar Sukoharjo sebenarnya dekat dengan rumah saya, tapi daripada nanggung sekalian saya ajak Ibu ke Pasar Gedhe.
Saya yang tadinya hanya iseng mengajak ke pasar yang jauh langsung menyesalinya begitu berjalan 2 KM dengan mengendarai sepeda motor. Bukan hanya matahari yang menyengat kulit saya, tapi kendaraan yang ramai berlalu lalang ikut menyengat hati saya, menohok kesabaran saya. Jarak Sukoharjo-Solo atau lebih tepatnya rumah-Pasar Gedhe yang seharusnya bisa dicapai dalam waktu 30 menit jadi memakan waktu lebih dari 1 jam!
Belum lagi untuk mencari parkir sangat sulit. Di dalam pasar penyesalan saya bertambah melihat kerumunan orang berdesak-desakan di sana-sini. Saat Ibu tawar-menawar dengan penjual bandeng, seorang bapak-bapak datang dan tanpa ba-bi-bu langsung menunjuk tumpukan bandeng dan membeli 10 ekor!Padahal ibu saya membeli 2 saja melewatkan waktu bermenit-menit untuk menawar. Kekesalan saya jadi berbaur dengan rasa heran.
Ibu belanja banyak, lebih banyak dari hari biasa tapi nampak tidak ada apa-apanya dibanding orang lain yang juga berbelanja bersama kami. Hampir 2 jam saya dan Ibu menjelajahi pasar, pikiran saya sudah pulang ke rumah, tidur pulas, sedangkan tubuh saya tetap berjalan di belakang Ibu. Ketika Ibu mengatakan sesuatu yang mengandung kata 'pulang', pikiran saya langsung kembali ke tubuhnya, dengan senyum lebar saya menggandeng Ibu, setengah menariknya segera meninggalkan hiruk pikuk tidak menyenangkan itu. Meninggalkan bapak tukang becak yang sedang mencari penumpang yang lupa membayarnya, meninggalkan penjual mangga yang memamerkan barang dagangannya, dan jelas meninggalkan keheranan saya pada orang-orang yang memborong dagangan para penjual.
Sesampainya di rumah saya memetik banyak pelajaran. Pertama, saya salah selama ini menganggap pedagang yang menaikkan harga dagangannya cenderung rugi, karena toh harga yang hadi tidak masuk akal tetap dibayar oleh para sanak saudara dari para pemudik. Kedua, mudik itu berarti belanja banyak, bukan hanya bagi pemudik yang menyiapkan oleh-oleh tetapi juga bagi yang didatangi oleh para pemudik yang harus menyiapkan sajian. Terakhir, saya belajar bahwa belanja tengah hari di bulan puasa apalagi di pasar tradisional tepatnya mendekati lebaran, benar-benar harus dihindari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H