Beberapa tahun kemarin, seluruh dunia tanpa terkecuali Indonesia, dihadapkan pada serangan badai Covid-19. Tidak tanggung-tanggung, aspek ekonomi Indonesia luluh lantah dihantam badai ini. Tidak sedikit perusahaan yang gulung tikar karena tidak dapat beroperasi. Selain itu, pemutusan hubungan kerja bagi karyawan juga marak terjadi.Â
Indonesia kini sedang berupaya memulihkan perekonomiannya. Beberapa insentif fiskal diberikan oleh pemerintah sebagai upaya untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Kini, ekonomi Indonesia sudah membaik, terutama di sektor pertambangan batu bara yang sedang booming, bahkan banyak sekali batu bara yang diekspor karena harga jualnya yang sangat tinggi di pasar luar negeri. Indonesia menjadi negara produsen batu bara terbesar di dunia. Meskipun demikian, pemerintah tetap membuat regulasi terhadap larangan ekspor untuk memenuhi pasokan energi di tanah air.
Meningkatnya usaha di sektor pertambangan di batu bara menimbulkan pertanyaan terkait sisi positif dan negatif sektor ini. Pertanyaan yang muncul adalah  mengenai dampak yang dihasilkan terhadap lingkungan. Proses pengambilan, pengolahan, dan penggunaan batu bara dipandang merusak lingkungan. Prosesnya juga mencemari air, tanah dan udara. Selain itu, pembakaran batu bara telah membuat suhu bumi semakin meningkat.
Tantangan selanjutnya adalah perubahan iklim yang menjadi perhatian serius di bumi. Isu keberlanjutan lingkungan menjadi topik yang tidak henti-hentinya dibahas. Emisi gas rumah kaca (GRK), yang faktor utamanya berasal dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi dan menjadi penyebab utama perubahan iklim. Dalam konteks ini, pajak karbon muncul sebagai salah satu instrumen kebijakan yang dapat membantu mengurangi emisi GRK dan menjadi mitigasi bagi dampak perubahan iklim.
Karakteristik geografis dan demografis Indonesia membuat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Fenomena ancaman naiknya permukaan air laut, bencana alam yang semakin sering, dan perubahan pola musim dapat merugikan sektor pertanian. Selain itu, sektor energi dan industri di Indonesia memiliki kontribusi signifikan terhadap emisi GRK, menciptakan tantangan khusus dalam upaya mengurangi jejak karbon negara ini.
Perubahan iklim juga dapat memberikan dampak ekonomi yang substansial. Misalnya, hilangnya lahan pertanian akibat kenaikan permukaan air laut dapat mengancam ketahanan pangan, sedangkan bencana alam yang lebih sering dapat merusak infrastruktur dan mengganggu aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk mengambil tindakan yang tepat guna mengurangi emisi GRK dan mempersiapkan diri menghadapi dampak perubahan iklim yang tidak dapat dihindari.
Dari dua hal tersebut, ada trade-off yang harus dipilih. Disinilah pemerintah perlu melakukan intervensi. Pemerintah mulai menerapkan konsep green economy untuk mengatasi hal ini. Green Economy berupa penerapan pajak karbon demi kelangsungan kehidupan yang lebih baik.
Mengutip pada laman pajak.go.id, Pajak karbon atau pajak emisi karbon (carbon tax) adalah pajak yang dikenakan terhadap pemakaian bahan bakar berdasarkan kadar karbonnya. Bahan bakar hidrokarbon (termasuk minyak bumi, gas alam, dan batubara) mengandung unsur karbon yang akan menjadi karbondioksida (CO2) dan senyawa lainnya ketika dibakar. Sedangkan definisi menurut IBFD International Tax Glossary (2015), carbon tax adalah pajak yang dikenakan pada bahan bakar fosil.
Melansir laman Kementerian ESDM, Kamis, 24 Maret 2022, green economy atau ekonomi hijau adalah suatu gagasan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara signifikan. Indonesia memang perlu menumbuhkan ekonomi seoptimal mungkin namun tetap mengindahkan kondisi lingkungan yang akan diwariskan kepada generasi mendatang.Â
Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah, dalam hal ini melalui Kementerian Keuangan adalah penerapan pajak karbon. Dengan melihat dampak negatif yang dihasilkan, Kementerian Keuangan sangat serius melihat issue ini. Penerapan ini dimaksudkan sebagai dukungan pada perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan. Indonesia turut hadir dalam menyikapi perubahan iklim di dunia.
Kementerian Keuangan telah membuat langkah yang baru terkait dukungan perubahan iklim. Dukungan tersebut dituangkan pada pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada 7 Oktober 2021, Pemerintah Bersama DPR menetapkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Salah satu yang diatur pada UU HPP adalah penerapan pajak karbon. Berdasarkan UU HPP, pajak karbon seharusnya mulai berlaku 1 April 2022. Namun, pelaksanaannya diundur karena mempertimbangkan situasi perekonomian global dan domestik. Hal ini tidak serta merta menyurutkan keseriusan pemerintah dalam upaya dukungan terhadap green economy.