Terancam Jebol
Dihadapkan dengan realisasi pertumbuhan ekonomi yang berada di bawah ekspektasi (sekitar 5% berbanding dengan proyeksi 5,7% yang dicanangkan di APBN tahun ini), pemerintah mulai realisitis dan mengakui bahwasanya target penerimaan pajak tahun ini tidak akan tercapai. Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengakui adanya potensi shortfall (kekurangan) sebesar Rp 180 Trilyun, kurang lebih 14% dari target penerimaan yang dicanangkan. Hal ini berarti defisit anggaran pemerintah akan membengkak. Merespon kondisi ini, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla menegaskan bahwa hanya ada dua langkah yang bisa diambil, antara menaikkan penerimaan pajak dan menurunkan belanja negara. Dikarenakan sebenarnya penerimaan pajak itu sendirilah yang menjadi masalah maka dipandang hanya ada satu alternatif yang tersisa. Kurangi belanja negara. Namun seberapa sesuaikah keputusan tersebut dengan gambar besar perekonomian Indonesia saat ini?
Pada dasarnya, anggaran pemerintah bekerja dengan prinsip yang sama dengan anggaran apapun, baik itu anggaran perusahaan, organisasi, maupun pribadi. Belanja lebih sedikit dari yang kita terima, dan kita akan mendapati sisa dana guna digunakan di kemudian hari. Belanja lebih banyak dari yang kita terima, namun demikian, dan kita terpaksa harus berhutang. Dalam kasus demikian, rasional bila kita mengurangi pengeluaran kita. Tidak perlu berpikir terlalu panjang mengenai dampaknya terhadap aktivitas ekonomi pihak lain. Permasalahan menjadi lebih rumit ketika yang dibicarakan adalah aktor yang pengeluarannya setara dengan sekitar seperempat dari aktivitas perekonomian di mana ia tinggal. Aktor seperti pemerintah.
Estimasi Besaran
Pertama – tama, harus diakui bahwasanya statemen Wapres Kalla masih relatif kabur. Dijanjikan bahwa “belanja untuk proyek – proyek yang tidak mendesak akan dikurangi”. Yang belum terlalu jelas adalah proyek seperti apa yang akan dirasa “tidak mendesak”, sehingga belum jelas pula berapa rupiah yang sedang dibacarakan. Namun berikut sekilas estimasi. Berdasarkan estimasi APBN 2015 (sebelum proyeksi shortfall), Indonesia akan mengalami defisit anggaran sebesar 2,21% PDB. Bila target pendapatan APBN sebesar Rp. 1.793,6 Trilyun dikurangi proyeksi shortfall Rp. 180 Trilyun maka defisit yang ada akan membengkak menjadi sekitar 3,83% PDB. Angka ini bila terealisasi memang cukup mengkhawatirkan. Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa hanya dua kali, sepanjang periode 1990 – 2012, rerata defisit anggaran/PDB negara – negara di dunia tercatat melebihi angka 3,83%. Rata – rata, defisit yang dialami hanya sebesar 2,2%. Ini menunjukkan bahwa angka yang dibicarakan memang relatif tinggi. Terlebih perundangan yang ada mengamanatkan bahwa pemerintah harus menjaga defisit anggaran di bawah 3%.
Menkeu Brodjonegoro memahami betul permasalahan ini dan bahkan menyatakan bahwa defisit akan dijaga di kisaran 2,5 – 2,7 %, di bawah batas yang diberikan. Ini berarti bahwa ada dana setara 1,13 – 1,33% PDB yang harus dicari. Setara Rp. 126 – 148 Trilyun, bila dana ini sepenuhnya akan dicari dari pemangkasan APBN maka jumlahnya akan setara dengan 6 – 7% APBN tahun ini.
PDB = Konsumsi Domestik + Injeksi