Mohon tunggu...
Adhgha Nizar Dzulkifli
Adhgha Nizar Dzulkifli Mohon Tunggu... -

Pelajar seumur hidup. Aktif mengamati berbagai isu perekonomian global.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menenangkan Pasar Sembari Mencapai Kurs Ideal Rupiah – US Dollar

13 Maret 2015   21:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:42 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tren depresiasi Rupiah (IDR) terhadap US Dollar (USD) memang cukup menkhawatirkan. Tercatat secara year-to-date (ytd) terhitung sampai 13 Maret 2015, berdasarkan kurs jualnya IDR telah terdepresiasi 5,75% terhadap USD. Secara year-to-year(yty), ia telah terdepresiasi 15,84%. Namun patut diingat bahwa tren depresiasi ini telah terjadi sejak Mei 2013, menyusul mulai munculnya wacana Bank Sentral Amerika Serikat (the Fed) untuk “menormalkan” kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) di tengah kondisi perekonomiannya yang mulai pulih dari Krisis Finansial Global. Sejak wacana ini bergulir, total IDR telah terdepresiasi terhadap USD sekitar 35,35%. Hilang sudah perbincangan optimistis beberapa tahun yang lalu terkait potensi kurs IDR:USD menyentuh angka psikologis 9.000. Bergeser dengan kekhawatiran atas angka psikologis yang lain, 13.000.

Walau akan selalu menarik untuk membahas bagaimana kebijakan moneter, atau bahkan spekulasi akan kebijakan moneter (depresiasi belakangan ini terjadi walaupun belum ada kebijakan konkrit yang diambil the Fed, spekulasi bahwa the Fed akan mengambil kebijakan konkrit tersebut musim panas tahun ini sudah cukup untuk menggerakkan sentiment pasar) suatu bank sentral negara tertentu di dunia dapat dengan cukup signifikan mempengaruhi perekonomian negara – negara yang sebenarnya tidak berada di bawah yuridiksinya, pada kasus depresiasi kurs IDR:USD belakangan ini, ada satu perkembangan lain yang tak kalah menarik. Betatapun terlihat menkhawatirkannya depresiasi belakangan ini, tampaknya ia belum cukup menkhawatirkan bagi Pemerintah Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama di tengah iklim depresiasi yang terjadi, Februari lalu Bank Indonesia (BI) justru memotong suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 7,5%. Secara teoritis pemotongan suku bunga acuan ini akan mempermurah biaya hutang dan karenanya memperbesar peredaran IDR di pasaran, tentu berefek menghasilkan tekanan depresiatif terhadap IDR karena jumlahnya yang kian tidak langka relatif dengan USD. Tiga poin terkait pilihan kebijakan ini. Pertama, ia tampaknya cukup mendapat dukungan, banyak ekonom yang mendesak BI untuk mengurangi suku bunga acuan lebih jauh lagi, sampai ke angka 7% atau bahkan 6,75%. Kedua, BI tidak sendirian. Banyak negara di Asia Pasifik, sebut saja Korea Selatan, India, Thailand, China, dan Selandia Baru yang juga memotong suku bunga acuannya di tengah iklim depresiasi yang ada. Ketiga, kebijakan ini tentu sudah melalui proses deliberasi mendalam. Di satu sisi ia memberi tekanan tambahan bagi kurs IDR. Di lain sisi, ia berpotensi memacu pertumbuhan ekonomi dengan meringankan biaya hutang rakyat. Terlebih dalam bulan Januari – Februari Indonesia berada dalam iklim deflasi, sehingga Pemerintah Indonesia tidak perlu khawatir pemotongan suku bunga ini akan menciptakan inflasi berlebih. Tentu tidak ada yang salah bila Pemerintah Indonesia kemudian memilih untuk menurunkan suku bunga acuan guna mendorong perekonomian domestik, terlebih banyak ekonom dan negara lain di kawasan yang mengambil pilihan kebijakan yang sama. Hanya saja ini menggambarkan bagaimana depresiasi IDR:USD belum terlalu menjadi prioritas.

Kedua, dapat dilihat dari cadangan devisa Indonesia. Tercatat Februari 2015 ia berada pada angka 115,527 juta USD. Secara ytd, yty, dan sejak Mei 2013, ia meningkat masing – masing sebesar 1,12%, 12,44%, dan 9,87%. Pengeluaran Operasi Pasar Terbuka BI, yang dilancarkan untuk mempengaruhi kurs IDR, sepanjang Februari 2015 tercatat juga hanya lebih besar 21,37% dari pengeluaran serupa sepanjang Mei 2013, walaupun pada periode yang sama IDR terdepresiasi 35,35% terhadap USD. Terlihat bahwa Pemerintah Indonesia belum masuk cukup dalam untuk mempengaruhi nilai kurs IDR:USD. Menyiratkan bahwa depresiasi yang ada belum dipandang menkhawatirkan.

Ketiga, bauran kebijakan yang dipersiapkan pun terlihat belum terlalu memuaskan. Dikutip dari Menkeu Bambang Brodjonegoro, ini meliputi tax allowance, bea masuk anti-dumping, hingga pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi industri galangan kapal. Kebijakan ini mungkin secara terbatas dapat menarik USD melalui beberapa sektor tertentu semisal industri galangan kapal dan sektor yang dikenai tax allowance, namun tekanan terhadap kurs IDR:USD tentu berasal dari banyak sektor. Secara agregat ia misalnya terwujud dari utang luar negeri (ULN) yang dalam periode Maret 2013 – Desember 2014 seiring depresiasi rupiah justru meningkat 13,18%, atau deficit neraca transaksi berjalan yang seakan belum ada obatnya. Bagaimana depresiasi rupiah akan diringankan dari pintu masuk – pintu masuk yang lebih umum ini, terlihat belum terlau dibahas. Penertiban transaksi valas yang diwacanakan juga belum terlalu jelas teknisnya.

Sebenarnya tidak perlu ada yang salah bila Pemerintah Indonesia merasa bahwa depresiasi yang ada belum terlalu menkhawatirkan dan kurs IDR:USD masih belum berada pada angka idealnya. Bagaimanapun, masih menurut Menkeu, pemerintah justru untung Rp. 2,3 Trilyun untuk tiap pelemahan kurs sebesar Rp. 100/USD dari acuan sebesar APBN sebesar Rp.12.500/USD. Menyiratkan bahwa pemerintah telah “untung” sekitar Rp. 16,1 Trilyun sejauh ini. Ruang fiskal yang cukup besar. Terdapat 23 kementerian dengan anggaran lebih kecil dari angka ini. Postur fiskal yang baik sebenarnya tentu meningkatkan kepercayaan pasar dan berimbas baik bagi IDR. Selain itu, bagaimanapun hasil stress test Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa menyentuh angka Rp. 14.000/USD pun performa perbankan Indonesia masih solid. Bahkan bila menyentuh angka Rp. 15.000/USD sekalipun hanya 20% bank, bank – bank terkecil, yang bermasalah. Selain itu, sebagaimana sering didengar dari pelaku bisnis, yang paling penting sebenarnya bukan berapa nilai kurs, namun volatilitasnya. Terlebih kurs yang lemah bisa menjadi obat mujarab, walau temporer, bagi masalah defisit neraca transaksi berjalan Indonesia. Walau juga harus menjadi perhatian bahwa nilai riil ekspor non-migas Indonesia sepanjang 2014 justru berkurang sebesar 0,6%.

Namun tidak cukup bagi pemerintah hanya untuk merasa bahwa depresiasi kurs IDR:USD belum menkhawatirkan, atau bahkan bahwa ia belum mencapai nilai idealnya. Pemerintah juga harus menkomunikasikannya dengan baik kepada rakyat, sehingga meningkatkan kepercayaan bahwa pemerintah mampu mengendalikan, dan memang, memegang kendali atas fenomena ini, sembari mempersiapkan bauran kebijakan yang lebih komprehensif. Sehingga pergerakan kurs dikarenakan aksi spekulatif maupun kekhawatiran bahwa pemerintah kehilangan kendali, dapat diminimalisir. Tentu justru tidak membantu pasar bila pejabat teras terkait justru terlihat frustasi/panik/enggan membahas di depan publik, sebagaimana sempat beberapa kali terlihat. Seakan – akan ini permasalahan yang memang sangat harus ditakuti. Bagaimanapun bila ada yang dapat dipelajari dari gambar besar krisis ini adalah, bagaimana spekulasi/kekhawatiran tidak kalah efektif dengan kebijakan konkrit dalam menggerakkan sentiment pasar, yang berada di luar yuridiksinya sekalipun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun